FNDR: Tangkap dan Adili Joko Widodo dan Makzulkan Gibran Fufufafa!!

Setelah mengkaji dan melihat perkembangan situasi dan kondisi negara, bangsa dan kehidupan rakyat dalam beberapa tahun terakhir, kami yang tergabung dalam FORUM NASIONAL UNTUK DAULAT RAKYAT (FNDR) memutuskan untuk menyampaikan Pernyataan Sikap dan Tuntutan.

Kami menilai Rezim Joko Widodo telah gagal melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Rezim Joko Widodo telah mewariskan berbagai masalah yang membuat rakyat Indonesia semakin jauh dari cita-cita sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Berbagai penyebab kegagalan dan warisan masalah tersebut antara lain adalah:

1. Menjalankan pemerintahan dengan meninggalkan prinsip-prinsip moral Pancasila, amanat konstitusi dan undang-undang yang telah menjadi konsensus nasional. Joko Widodo telah mengkhianati daulat dan amanat rakyat karena berambisi untuk tetap menggenggam kekuasaan melalui politik dinasti otoriter ala Machiavelli.

2. Untuk tetap mengendalikan dan mengontrol kekuasaan, Joko Widodo telah bekerjasama sangat erat dengan sejumlah pengusaha oligarkis pelaku state-corporate crime dalam menyusun dan memproduksi berbagai kebijakan dan peraturan. Bahkan untuk melanjutkan berbagai agenda oligarki, Joko Widodo diduga kuat mengendalikan dan menguasai Presiden Prabowo Soebijanto, termasuk dalam menyusun anggota Kabinet Merah Putih. Pada Pilkada 2024 Joko Widodo telah memanfaatkan tangan Presiden Prabowo untuk mengendorse calaon-calon tertentu bagi pelanggengan kekuasaannya.

3. Salah satu kejahatan politik otoriter sarat KKN rezim oligarki Joko Widodo adalah menempatkan Gibran sebagai cawapres Pilpres 2024, dan disusul dengan praktik yang sama untuk memenangkannya dalam Pilpres 2024. Padahal di samping inkonstitusional, pencawapresan Gibran tidak memenuhi syarat etika, moral dan ijazah pendidikan. Gibran telah melakukan perbuatan tercela, terlihat dari aktivitas akun Kaskus Fufufafa amoral yang mestinya diproses hukum, bukan malah dilantik menjadi Wakil Presiden Indonesia.

4. Pembusukan partai politik di satu sisi dan politik sandera atau sprindik Joko Widodo di sisi lain, telah menjadikan DPR yang semestinya menjalankan fungsi pengawasan, berubah menjadi “endoser” kebijakan pemerintah yang merugikan negara dan rakyat. Sambil memainkan politik sandera, rezim oligarki Joko Widodo telah menyulap hukum menjadi kepanjangan tangan politik yang berkhidmat kepada kekuasaan oligarki, dimana negara hukum (rechtstaat) telah bergeser menjadi negara kekuasaan (machtstaat).

5. Memelihara para taipan, termasuk yang menjadi proxy China, telah sangat berperan mendukung Joko Widodo mencengkeram kekuasaan dan berburu rente melalui proyek-proyek swasta oligarkis yang diberi predikat proyek strategis nasional (PSN), seperti Rempang, BSD dan PIK-2, Surabaya Front Land dan Papua Selatan. Dengan status PSN para oligarki seperti Aguan, Salim, Tomy Winata, dll., mendapat dukungan penuh rezim untuk menindas, menjajah, menyengsarakan dan menghancurkan kehidupan rakyat.

6. Simbiosis mutualisme dan KKN rezim Joko Widodo dengan para taipan telah memberi kesempatan kepada sejumlah pengusaha dan China RRC mengusasi berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama ekonomi, keuangan, SDA, industri, perdagangan, teknologi, politik, geo-politik, dll. Hegemoni dan penjajahan senyap ini telah menjadi ancaman serius atas pertahanan, kedaulatan, kemandirian dan ketahanan nasional ke depan.

7. Pelanggaran HAM menjadi kejahatan sistemik rezim Joko Widodo. Tewasnya 800-an petugas Pemilu berakhir tanpa proses hukum. Perhimpunan Kedokteran menyatakan kematian tersebut bukan karena kelelahan, tetapi by-design. Peristiwa pembunuhan 9 orang pendemo Bawaslu 21-22 Mei 2019, pembantaian 6 laskar FPI, hingga kasus Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 300 rakyat, adalah pengabaian kemanusiaan, dan bahkan bisa disebut rekayasa dan kejahatan politik.

8. Lahirnya Keppres No.17/2022 tidak menjelaskan siapa/kelompok mana yang telah melakukan pelanggaran HAM Berat dan siapa yang menjadi korban. Maka dalam kasus 1965 dengan mudah Umat Islam dan TNI diposisikan sebagai tertuduh. Sementara PKI dibela sebagai korban dan akan mendapatkan ganti kerugian. Kemudian dengan terbitnya Inpres No.2/2023 sebagai tindak lanjut Keppres No.17/2022 semakin memperjelas keberpihakan rezim Jokowi kepada pihak PKI, yang sudah dibubarkan melalui TAP MPR.

9. Ummat Islam dijadikan target pelumpuhan melalui stigmatisasi teroris, radikal, intoleran bahkan politik identitas. Moderasi beragama disimpangkan untuk sekularisasi, pengambangan nilai dan de-Islamisasi. Sementara pragmatisme, mistisisme, hedonisme dan machiavelisme tambah berkembang menjadi-jadi.

Menimbang dan memperhatikan berbagai permasalahan di atas, kami dari FORUM NASIONAL UNTUK DAULAT RAKYAT dengan ini menyatakan:

Pertama, menuntut Presiden Prabowo menjalankan kekuasaan dan pemerintahan sesuai Pancasila, konstitusi dan daulat Rakyat, serta konsisten melaksanakan apa yang disampaikan dalam pidato pelantikan sebagai Presiden di Gedung MPR, sekaligus membebaskan diri dari cengkeraman politik oligarki nepotis Joko Widodo.

Kedua, menuntut DPR, DPD dan MPR menjalankan kewenangan sesuai UUD 1945 untuk segera memproses pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, karena tidak memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.

Ketiga, menuntut Presiden Prabowo memproses hukum para konglomerat hitam yang telah bekerjasama mendukung rezim oligarki Joko Widod penyebab kesengsaraan rakyat dan kerugian negara.

Keempat, mengajak seluruh komponen rakyat untuk menuntut agar berbagai kejahatan dan pelanggaran hukum Joko Widodo diproses di pengadilan.

Demikian Pernyataan Sikap dan Tuntutan ini dibuat dan disampaikan sebagai wujud tanggungjawab bersama dalam menegakkan daulat dan amanat rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Jakarta, 28 November 2024

Sekretariat FNDR
Marwan Batubara & Syafril Sofjan

Para Anggota FNDR lebih dari 130 tokoh nasional lintas profesi, lintas daerah dan lintas aspirasi. Mereka antara lain: Jenderal Gatot Nurmantiyo, Jenderal Fachrul Rozi, Jenderal Tyasno Sudarto, Laksamana Slamet Soebijanto, Prof. Ikrar Nusa Bhakti, Prof. Sri-Edi Swasono, Dr. Marwan Batubara, KH Athian Ali, Chusnul Mar’iyah Ph.D, Dr. Anthony Budiawan, Prof. Rohmat Wahab, Prof. Hafidz Abbas, Letjen Suharto, Prof. Denny Indrayana, Dr. Refly Harun, Mayjen Soenarko, Dr. M. Said Didu, Dindin S. Maolani, Dr. Abraham Samad, KH Muhyiddin Junaedi, KH Syukri Fadholi, Dr. Paulus Yanuar, KH Sobri Lubis, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Bivitri Susanti, Prof. Musni Umar, Dr. Roy Suryo, Syafril Sjofyan, Rizal Fadillah, M. Dr. Petrus Selestinus, HM. Mursalin, Dr. Saut Situmorang, Dr. Abdullah Hehamahua, Sayuti Asyathri, Habib Muchsin AlAttas, Prof. Dr. Ana Rochana, KH Andri Kurniawan, Munarwan, Dr. Memet Hakim, Dr. Tifauzia T., Adhie Massardi, Brigjen H. Poernomo, Edy Mulyadi, Hersubeno Arief, Mudrick Sangidu, Dr. Ahmad Yani, Kelana Budi Mulya, Ida Kusdianti, KurniaTri Rayani SH, Rahma Sarita, Dr. Erick Sitompul, Tito Rusbandi, Paskah Irianto, Damai Hari Lubis, Ubeidillah Badrun, M. Hatta Taliwang, Gus Aam Wahab, Ahmad Sarbini, Dr. Ridho Rahmadi, Dr. Robi Nurhadi, Dr. Agung Sapta Hadi, Meidi Juniarto, Donny Handricahyono, Ust. Asep Staripudin, Dr. M. Taufiq SH, Asyari Usman, Dr. Ramadhan Pohan, Akhmad Khozinuddin, Kol. Sugeng Waras, Sutoyo Abadi, Syamsir Jalil, Djudju Purwanto, Gde Siriana, Andi Syahrandi, Radar Tri Baskoro, Saeful Zaman, Aziz Yanuar, H. Ekajaya, Kanjeng Senopati, Menuk Wulandari, Dr Eva S. Diana Chaniago, Yusuf Blegur, Taufik Bahauddin, Beathor Suryadi, Habil Marati, Karina Joedo, Yasmin, Renny S. Affan, Ana Sofiana, Luciana Mulya, Umi Siti Marifah, Noor Alam, Yuritska Rizki Marsi, Julia W. Satari, Azzam Khan SH, dll.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News