Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Kemarin, Senin 18 November 2024 bersama ribuan nasabah korban BMT Mitra Umat, saya ikut dalam gelombang aksi turun ke jalan para nasabah korban BMT Mitra Umat Pekalongan. Mereka datang dari berbagai wilayah dan berkumpul di monumen Djoeang’45 untuk kemudian konvoi kendaraan menuju kantor DPRD kota Pekalongan melewati jalan utama pantura. Aksi ini bukan hanya sekadar demonstrasi biasa; ini adalah jeritan rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan pada otoritas yang seharusnya melindungi mereka. Hampir sembilan bulan lamanya, kasus dugaan penggelapan uang sebesar Rp. 87 miliar yang dilakukan oleh pengurus BMT Mitra Umat belum juga menemukan titik terang. Pemerintah, DPRD, hingga aparat penegak hukum, semuanya seolah diam seribu bahasa atas adanya kasus ini
Ribuan nasabah, yang mayoritas adalah masyarakat kecil, mengalami penderitaan yang luar biasa. Tabungan yang mereka kumpulkan dengan susah payah hilang begitu saja. Ada yang menabung untuk biaya pendidikan anak, ada pula yang mempersiapkan hari tua, bahkan beberapa di antaranya menabung untuk keperluan darurat keluarga. Namun, harapan mereka musnah ketika pengurus BMT Mitra Umat dengan sengaja menggelapkan uang mereka.
Hingga saat ini, tidak ada langkah konkret dari pemerintah kota Pekalongan maupun aparat kepolisian. Walikota dan DPRD seolah menutup mata terhadap persoalan ini. Padahal, salah satu pengurus BMT yang diduga terlibat adalah anggota DPRD kota. Hal ini menambah keprihatinan masyarakat yang menduga duga ada konflik kepentingan dan ketidakseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini.
Aksi turun ke jalan oleh 1000 nasabah BMT Mitra Umat ini menjadi puncak kemarahan rakyat. Dengan membawa spanduk, poster, dan pengeras suara, mereka menyuarakan tuntutan keadilan. Jalan utama kota Pekalongan mendadak macet total. Terik matahari tak menyurutkan semangat mereka untuk terus berjalan dan meneriakkan aspirasi. Aksi ini bukan hanya menjadi bentuk perlawanan terhadap BMT Mitra Umat, tetapi juga protes terhadap kebisuan aparat dan pemerintah.
Aksi mereka menyayat hati siapa saja yang menyaksikan. Para korban, yang sebagian besar adalah orang tua dan ibu rumah tangga, rela berpanas-panasan demi menyuarakan hak mereka. Mereka hanya ingin uang mereka kembali dan pelaku dihukum setimpal.
Kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga keuangan non-bank seperti BMT. Padahal, koperasi seperti BMT Mitra Umat sering menjadi pilihan masyarakat kecil yang tidak memiliki akses ke perbankan. Namun, kurangnya regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif membuat kasus seperti ini terus berulang.
Mirisnya, dalam kasus ini, salah satu pengurus BMT yang terlibat adalah anggota DPRD. Hal ini sering menimbulkan kecurigaan masyarakat akan adanya perlindungan politik yang membuat kasus ini berlarut-larut. Tidak adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum semakin memperparah situasi.
Lebih menyakitkan lagi, kasus ini terjadi di tengah euforia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pekalongan. Para pasangan calon (paslon) sibuk berkampanye, menjanjikan perubahan, namun tidak ada satu pun yang menyentuh isu ini. Padahal, kasus BMT Mitra Umat adalah salah satu krisis terbesar yang melanda masyarakat Pekalongan saat ini.
Ketidakpedulian ini menunjukkan betapa jauhnya para pemimpin dari realitas masyarakat. Di saat rakyat menderita, mereka sibuk memperebutkan kursi kekuasaan. Hal ini membuat para korban merasa semakin terabaikan dan tidak dianggap.
Aksi demonstrasi ini bukan hanya sekadar protes, tetapi juga harapan mereka mendapatkan kembali apa yang menjadi hak mereka dan melihat pelaku kejahatan ini mendapatkan hukuman yang setimpal. Mereka menuntut DPRD kota Pekalongan untuk segera membentuk PANSUS BMT Mitra Umat dan menyurati aspirasi mereka ke Presiden RI, DPR RI dan Kementrian Koperasi RI dalam waktu 3 x 24 jam.
Aksi ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk introspeksi. Pemerintah, aparat, dan masyarakat harus belajar dari kasus ini. Keadilan sosial bukan hanya slogan, tetapi sebuah tanggung jawab yang harus diwujudkan.
Bagi pemerintah, kasus ini menjadi ujian nyata akan komitmen mereka terhadap masyarakat kecil. Ketidakadilan yang dibiarkan hanya akan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Bagi aparat, kasus ini menguji integritas mereka dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Bagi masyarakat, aksi ini menjadi bukti bahwa suara rakyat masih memiliki kekuatan. Ketika otoritas berwenang tidak bertindak, rakyat harus bersatu untuk menuntut keadilan.
Aksi ini juga menyampaikan pesan semangat para nasabah korban BMT Mitra Umat tidak akan pudar. Mereka telah menunjukkan bahwa rakyat tidak akan diam menghadapi ketidakadilan. Dengan aksi yang konsisten, dukungan dari berbagai elemen masyarakat, dan perhatian media, mereka berharap kasus ini dapat segera mendapatkan penyelesaian.
Di tengah semua penderitaan ini, ada harapan bahwa perubahan akan datang. Harapan bahwa pemerintah, DPRD, dan aparat kepolisian akhirnya akan membuka mata dan telinga mereka terhadap jeritan rakyat. Harapan bahwa keadilan akan ditegakkan, dan tidak ada lagi kasus serupa yang akan menimpa masyarakat kecil di masa depan.
Aksi turun ke jalan ini adalah simbol perjuangan rakyat Pekalongan melawan ketidakadilan. Ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa ketika otoritas gagal menjalankan tugasnya, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk bersuara. Dan suara mereka tidak akan berhenti sampai keadilan benar-benar terwujud.