Ustaz Salafi Diam Konser Jennifer Lopez Buka Aurat di Arab Saudi dan Gembira Kematian Hassan Nasrullah

Oleh: Rokhmat Widodo, Kader Muhammadiyah Kudus

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai fenomena sosial dan budaya yang menarik perhatian, terutama di dunia Islam. Salah satu peristiwa yang cukup menghebohkan adalah konser penyanyi internasional, Jennifer Lopez, yang diadakan di Riyadh Arab Saudi. Acara ini tidak hanya menarik perhatian penggemar musik, tetapi juga memicu perdebatan di kalangan masyarakat, termasuk para ulama dan tokoh agama, terutama yang beraliran Salafi. Sementara itu, di sisi lain, terdapat reaksi yang tidak kalah mencolok terkait kabar kematian seorang tokoh politik Syiah, Hassan Nasrullah. Kedua peristiwa ini menunjukkan kompleksitas dinamika sosial dan politik di dunia Islam hari ini.

Pertama, mari kita bahas konser Jennifer Lopez. Konser tersebut menjadi sorotan utama karena diadakan di negara yang dikenal memiliki regulasi ketat terkait kesopanan dan aurat. Bagi banyak orang, konser ini dianggap sebagai langkah maju dalam upaya modernisasi dan pembaruan budaya Arab Saudi. Namun, di mata beberapa kalangan yang mengaku berpegang teguh pada prinsip-prinsip Salafi, konser ini dianggap sebagai sebuah kemunduran, bahkan pelanggaran terhadap nilai-nilai agama.

Dalam pandangan Salafi, acara-acara hiburan yang “mengumbar aurat” dan tidak sesuai dengan norma agama seharusnya ditolak. Namun ulama di Saudi maupun ustaz Salafi di Indonesia hanya diam saja dan tidak mengkritik negeri petro dollar itu.

Seorang Muslim, khususnya wanita, harus menjaga auratnya dan tidak menampilkan diri dalam bentuk yang dapat menimbulkan fitnah. Namun, di sisi lain, banyak dari mereka yang mungkin tidak memberikan reaksi yang sama terhadap fenomena lain yang sama sekali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka usung. Misalnya, penonjolan gaya hidup mewah dan hedonisme di kalangan publik yang mengaku sebagai penganut agama bisa jadi lebih dibiarkan, sementara konser musik yang “berdosa” justru menjadi sorotan utama.

Jika kita berbicara tentang kematian Hassan Nasrullah, pemimpin Hizbullah, konteksnya pun tak kalah menarik. Kematian seorang tokoh politik sering kali menjadi momen refleksi bagi pengikut dan juga lawan politiknya. Dalam hal ini, ada kalangan yang merasakan kegembiraan tertentu atas berita tersebut, terutama mereka yang berseberangan dengan pandangan politik Nasrullah. Kegembiraan ini bisa dimengerti dalam konteks perjuangan politik dan ideologi, tetapi di sisi lain, ada juga yang menilai bahwa merayakan kematian seseorang, terlepas dari pandangan politiknya, adalah sikap yang tidak etis.

Melihat kedua peristiwa ini, kita dihadapkan pada sebuah realitas sosial yang kompleks. Di satu sisi, ustaz Salafi yang lebih memilih untuk diam terhadap fenomena yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, seperti konser yang menampilkan aurat, sementara di sisi lain, mereka merespons dengan antusiasme terhadap kematian seseorang yang dianggap musuh ideologis. Ini menunjukkan inkonsistensi dalam sikap moral dan etika yang seharusnya dipegang teguh oleh seorang ulama.

Sikap diam atau tidak berkomentar tentang suatu hal yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama sering kali menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ini berarti mereka mendukung, ataukah ada kepentingan lain yang lebih besar di balik sikap tersebut? Dalam banyak kasus, mungkin saja ada ketidakpastian atau bahkan rasa takut akan konsekuensi sosial dan politik dari pernyataan yang mereka buat. Hal ini menciptakan suasana di mana banyak orang merasa bingung tentang apa yang sebenarnya menjadi prinsip dan nilai-nilai yang dijunjung oleh para pemimpin spiritual mereka.

Kita juga perlu melihat bagaimana generasi muda, yang sering kali lebih terbuka terhadap perbedaan budaya dan ide, merespons fenomena seperti konser Jennifer Lopez. Mereka mungkin lebih cenderung memiliki pandangan yang lebih toleran, menyadari bahwa dunia telah berubah dan bahwa musik serta budaya pop adalah bagian dari ekspresi manusia yang tidak perlu dilarang. Namun, di sisi lain, mereka juga terjebak dalam pertarungan ideologi yang lebih besar antara tradisi dan modernitas, di mana mereka harus menavigasi antara harapan agama, norma sosial, dan keinginan pribadi.

Dalam konteks ini, kita juga harus mempertimbangkan bagaimana media berperan dalam membentuk opini publik. Berita tentang konser, reaksi dari tokoh-tokoh agama, dan kematian Hassan Nasrullah sering kali disajikan dengan cara yang sensationalis, yang membentuk narasi tertentu di kalangan masyarakat. Hal ini dapat memperburuk polarisasi di masyarakat, di mana satu pihak merasa ‘benar’ dan pihak lain dianggap ‘salah’. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam dalam mencari keseimbangan antara menjaga nilai-nilai agama dan menghadapi realitas dunia modern.

Secara keseluruhan, fenomena konser Jennifer Lopez dan kematian Hassan Nasrullah mencerminkan bagaimana masyarakat Muslim saat ini berada di persimpangan jalan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News