Presiden Prabowo Subianto (PS) membuat kesalahan besar yang menyangkut wilayah tumpang tindih (Natuna dan sekitarnya) melalui kerja sama pembangunan bersama yang ditandatangani dua kepala Negara China dan RI. Untuk wilayah yang diakui dunia sebagai wilayah kita.
Demikian Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Sofian Effendi dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (16/11/2024).
“Penandatanganan kerja sama tersebut tanpa didasari pengetahuan tentang perkembangannya sebagai wilayah kita merupakan salah satu kesalahan yang dilakukan oleh Presiden RI, karena tidak didukung oleh Wapres, Menlu, Seskab, dan Sekneg yang kurang faham kepentingan NRI dan kepentingan negara-negara ASEAN,” tegasnya.
Kunjungan ke Amerika, kata Sofian menunjukkan Presiden Prabowo hanya diterima Presiden Joe Biden yang berkuasa lebih kurang 2 ( dua ) minggu lagi. “Indonesia bukan sebagai negara sahabat, yang mengajukan beberapa permintaan kepada Indonesia, sehingga menyimpang dari rencana Indonesia,” tegasnya.
Mungkin kunjungan ke Peru dan negara lain, tidak jelas apa tujuannya?.Wah susah Presiden kita nampaknya hanya didorong tujuan hanya untuk pencitraan pribadi dan bukan untuk memperjuangkan Non Blok guna menyusun hubungan yang setara dengan China dan AS sebagai Super Power.
“Jadi upaya Prabowo membangun kerja sama yang efektif dengan China, AS, dan negara lain perlu didukung oleh pengetahuan yang lengkap tentang sejarah Indonesia sebagai pelopor Non Blok, dan penilaian yang benar tentang seberapa solid dukungan politik kepada Presiden Prabowo,” ungkapnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan pengembangan bersama (joint development) dengan China yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto berpotensi melanggar undang-undang.
“Bila joint development ini benar-benar direalisasikan, maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar,” kata Hikmahanto Juwana dalam keterangannya, Rabu (13/11/2024).
Presiden RI Prabowo dan Presiden China Xi Jinping telah mengeluarkan Joint Statement pada 9 November lalu. Dalam butir 9 dengan judul “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation” disebutkan bahwa “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims”
Hikmahanto mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim Sepuluh Garis Putus (dulu disebut Sembilan Garis Putus) oleh Cina yang tumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara.
Apabila benar, kata Hikmahanto, artinya kebijakan Indonesia berkaitan dengan klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis. Sehingga hal ini menjadi perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Menurut Hikmahanto, apabila joint development dengan Cjina di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan, China justru adalah pihak yang mendapat keuntungan besar. Bahkan, Cina bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya.
“Ini tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi,” kata dia.