Oleh : Aqiful Khoir S.Sos.,S.Fil., M.A.P, Dewan Pembina DPP Asosiasi Guru Ekonomi Syariah Indonesia (AGESI)
Seorang guru olahraga SD Negeri 1 Wonosobo berinisial MS dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa setelah melerai perkelahian di kelas meminta ganti rugi sebesar Rp30 juta.
Seorang guru ponpes di Makassar, Sulawesi Selatan, yang berinisial YB dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan menganiaya seorang santri berinisial SA (13) karena diduga akan mencuri.
Guru SMP berinisial SA di Kota Sorong, Papua Barat Daya, dikenakan sanksi adat usai memvideokan aktivitas siswanya, ES (13) hingga viral di media sosial. Orang tua ES yang keberatan terhadap ulah SA lantas menuntut denda sebesar Rp 100 juta.
Kasus penangkapan guru yang sedang hangat diperbincangkan adalah kasus Supriyani, guru SD Negeri 04 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.Supriyani, guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun, didakwa melakukan kekerasan fisik terhadap seorang siswa, D (8), anak dari anggota polisi, Aipda Wibowo Hasyim.
Dalam hal ini para guru sering kali berada dalam posisi yang rentan, di mana mereka tidak hanya harus memenuhi tanggung jawab mengajar, tetapi juga berhadapan dengan risiko hukum dalam proses mereka melakukan pembinaan pada murid.
Sistem pendidikan yang seharusnya melindungi guru dan memberi mereka dukungan dalam menjalankan tugas, justru malah menjadi ancaman tersendiri bagi para guru. Kasus-kasus tersebut diatas menjadi contoh betapa rentannya profesi guru di era saat ini, khususnya bagi para guru honorer yang perjuangannya dalam menjalankan tugas sangat besar.
Kita ambil yang paling mencolok dalam kasus Ibu Supriyani adalah terkait intervensi dan reaksi orang tua siswa yang menurut saya berlebihan. Terutama ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan atau pengaruh, tentunya ini membebani guru,
Fenomena seperti ini tidak jarang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Padahal reaksi atau intervensi yang terlalu berlebihan dan tidak proporsional justru dapat merusak proses pendidikan.
Dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan,
Perlindungan ini mencakup perlindungan dari kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Aturan tersebut juga mengatur perlindungan guru dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain yang terkait dengan tugas pendidik dan tenaga kependidikan.
Profesi guru jelas memiliki perlindungan saat dirinya melakukan proses belajar mengajar. Namun kasus Supriyani menunjukkan intervensi orang tua serta intimidasi yang dapat mengancam keamanan guru dalam menjalankan perannya,
Kita sepakat penganiayaan pada anak tidak dapat dibenarkan, tapi pendampingan hukum yang maksimal dapat membantu membuka fakta yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini,
Selain itu, Supriyani yang telah mengabdi sebagai guru honorer selama 16 tahun tersebut dituduh menganiaya pada pukul10.00 Wita. Menurut pihak LBH, waktu kejadian tidak dapat dibenarkan mengingat di jam tersebut seluruh siswa sudah pulang.
Kita meminta Pemerintah hadir untuk memberi bantuan dan perlindungan bagi Ibu Supriyani. Kita juga berharap pengadilan dapat memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi semua pihak,
bahwa guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, guru tak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membimbing dan membentuk karakter siswa melalui pengajaran nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan etika.
Beban guru hari ini sangat berat dan banyak tantangan. Karena yang terjadi sekarang itu guru kurang punya power untuk memberikan pembinaan ke siswa dalam bentuk disiplin karena fenomena reaksi orang tua yang sedikit-sedikit membawa masalah ke ranah hukum,
Karena takut dikriminalisasi, akhirnya guru menjadi kurang memberikan pendidikan disiplin kepada anak yang melakukan pelanggaran.Hal tersebut menjadi salah satu faktor kurangnya pendidikan karakter bagi anak.
Termasuk kemudian banyak terjadi kasus kekerasan anak dan bullying di sekolah itu karena kurangnya pembinaan disiplin dari guru. Anak-anak pun jadi kurang menaruh rasa hormat atau keseganan pada guru mereka. Beda seperti zaman kita dulu.
Kita memahami bahwa memang benar ada terjadi berbagai kasus kekerasan guru kepada anak muridnya. Namun ia menyebut tidak semua tindakan disiplin yang diterapkan guru merupakan bentuk kekerasan sehingga tak bisa disamaratakan.
Kalau memang guru melakukan kekerasan ya memang harus dan wajib diproses hukum dan mendapat sanksi. Tapi kita mengajak semua masyarakat, khususnya wali murid, untuk mendukung proses pembinaan karakter yang dilakukan guru di sekolah demi perkembangan karakter anak-anak kita.
Seharusnya sistem pendidikan nasional Indonesia dapat memastikan bahwa guru, orang tua, dan siswa dapat bekerja sama, kerja sama antar pihak ini demi mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.
Guru harus diberikan ruang untuk mendisiplinkan dan membimbing siswa, sementara siswa tetap mendapatkan perlindungan yang layak,jika setiap tindakan pendisiplinan yang diterapkan guru selalu menjadi sorotan dan dipertanyakan maka akan berdampak pada perkembangan moral generasi muda atau anak-anak Indonesia. Siswa menjadi tidak ada rasa tanggung jawab karena merasa orang tua akan selalu membela meskipun anak melakukan kesalahan.
Kalau orang tua melakukan intervensi terus, guru bisa merasa terancam dalam menjalankan tugasnya. Ini mengakibatkan kurangnya penerapan disiplin di kelas, yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan moral dan tanggung jawab siswa itu sendiri.
AGESI pun juga mendorong pemerintah untuk membuat sistem pendidikan yang seimbang antara hak guru untuk mendisiplinkan siswa dan hak orang tua untuk melindungi anak-anak mereka. Perlindungan bagi siswa juga disebut harus dikelola dengan bijak melalui regulasi dan kebijakan pendidikan yang komprehensif.
Idealnya dalam mendidik anak-anak harus ada kolaborasi yang baik antara semua pihak, sekolah dalam hal ini guru, orang tua maupun lingkungan sekitar agar membentuk karakter anak yang baik. Karena masa depan Indonesia ada di anak-anak generasi penerus bangsa ini.
Preseden Buruk Pemerintah Somasi Rakyat
Asosiasi Guru Ekonomi Syariah Indonesia (AGESI) juga menanggapi setelah guru honorer SD Negeri 4 Baito Supriyani disomasi oleh Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga.
Pembina DPP AGESI Aqiful Khoir menilai somasi itu tak seharusnya dilakukan. Dia berkata akan lebih baik bila Surunuddin memaafkan Supriyani.
Mestinya kita saling memaafkan, ini juga akan menjadi preseden buruk buat pemerintah daerah kemudian mensomasi rakyatnya.
Surunuddin membuat somasi itu karena Apriyani mencabut surat kesepakatan damai. Dia tidak terima Supriyani mengaku mendapatkan tekanan dan paksaan saat menandatangani surat perdamaian tersebut.
Yuk kita saling memaafkan karena ini adalah budaya luhur bangsa kita, mari bersama mencerdaskan anak bangsa agar menjadi bangsa yang hebat.