Ada Apa dengan Prabowo?

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Hari ini (Sabtu, 9/11), saya diundang di acara NGOPI (NGOBROL POLITIK NEGERI). Temanya ‘AADP – ADA APA DENGAN PRABOWO?’.

Acara yang digelar RH Channel ini, dihadiri banyak tokoh. Ada Jenderal Fachrur Razi, Prof Didin Damanhuri, Rizal Fadilah, Anton Permana, Beathor Suryadi, Roy Suryo, Juju Purwantoro, Tata Kesantra, Meidy Juniarto, Said Didu, Edy Mulyadi, Mayjen Soenarko, dll.

Acara diselenggarakan di WHITE HOUSE, Jakarta Selatan. Seperti biasa, setiap tokoh menyampaikan pandangannya.

Memang variatif pandangannya. Ada yang menaruh harapan pada Prabowo, ada yang pesimis, ada yang masih mempersoalkan Pilpres yang lalu, dan semua mempersoalkan fufufafa.

Saya sendiri melihat, Prabowo sedang dalam kebingungan dan beban yang luar biasa. Bukan hanya terkait internal, tetapi juga sedang galau menghadapi konstelasi global.

Ringkasnya demikian,

Secara internal, Prabowo Subianto didalam negeri masih akan menghadapi masa konsolidasi yang panjang. Baik konsolidasi di kalangan elit, maupun di kalangan rakyat.

Kabinet yang terbentuk saat ini, jelas bukan cerminan prerogratif seorang Prabowo Subianto. Melainkan, delegasi dari Prerograsi seorang Jokowi.

Konsolidasi untuk lepas dari Jokowi, membangun kekuasaan yang independen bertumpu pada dirinya, jelas bukan perkara mudah. Sejumlah komunikasi publik Prabowo, dari soal himbauan Loyal kepada Negara saat Retret ke Akmil Magelang. Hingga seruan untuk tidak segan-segan mencopot siapapun pejabat yang tidak komitmen, menandakan ikhtiar itu sedang dilakukan.

Konsolidasi membangun tim sendiri yang mandiri, juga perkara yang tidak mudah. Apalagi, disaat pemerintahan yang dia pimpin mewarisi berbagai kerusakan era Jokowi.

Sementara dikalangan rakyat, pembelahan kelompok cebong, kampret, kadrun, hingga segmentasi barisan sakit hati belum juga sirna. Prabowo punya beban berat untuk menyatukan rakyat Indonesia, bukan terbelah menjadi Rakyatnya Jokowi, Rakyatnya Anies, Rakyatnya Ganjar, dll.

Belum lagi beban didampingi fufufafa. Posisi Wapres bagi Prabowo bukan faktor pendukung, melainkan beban kepemimpinan.

Dalam konteks konstelasi global, Prabowo memimpin disaat ketegangan dua kutub kekuatan ideologi dunia sedang berkonfrontasi. Blok kapitalis dibawah kendali Amerika sedang berperang melawan blok sosialis yang diwarisi oleh Rusia di perang Ukraina. Ekonomi dunia, juga sedang tidak berada dalam ekosistem sinergi, karena antara Amerika dan China juga sedang berkonfrontasi dalam posisi perang dagang yang sangat kritis.

Dua masalah itu, menjadi faktor ancaman krisis baik krisis pangan dan energi, kedepan makin bergeser dari ancaman yang potensial menjadi realitas yang aktual. Padahal, bangsa Indonesia tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan dan energi secara mandiri. Mau menggenjot swa sembada pangan dan swa sembada energi, untuk kondisi yang kritis seperti saat ini, menjadi pilihan yang tidak populis dan tidak realistis.

Kunjungan ke China, sebagai pilihan pertama tentu tidak lepas untuk menjaga stabilitas dan ketahanan energi dan pangan. Karena China, adalah negara paling membanjiri berbagai produk bangsa Indonesia.

Apalagi, jalan paling instan untuk mengatasi defisit APBN sebesar Rp600 triliun adalah dengan utang. Jadi, Prabowo keliling ke luar negeri, selain untuk dagang, cari peluang, juga untuk cari utang.

Desain ekonomi yang kapitalis dan liberal, menjadikan Prabowo tak berkutik. Terpasung oleh desain anggaran kapitalisme, dimana sumber utama pemasukan Negara dari pajak. Dan setiap defisit APBN, akan selalu ditutup dari utang.

Dalam konteks itulah, saya kira tidak semua Menteri diambil Prabowo karena faktor Jokowi. Ada menteri era Jokowi, tak mungkin dilepaskan dan akan tetap dipake karena dibutuhkan. Misalnya, Sri Mulyani.

Sri Mulyani dibutuhkan, bukan titipan Jokowi. Karena Sri Mulyani, sangat dibutukan untuk mendesain APBN yang bersumber dari pajak dan utang. Untuk urusan pajak dan utang, Sri Mulyani memang jagonya.

Padahal, ada desain APBN yang bisa memperluas ruang fiskal tanpa membebani rakyat dan bisa menunjang program Prabowo untuk merealisasikan programnya sebagaimana disampaikan saat Kampanye.

Yaitu, nasionalisasi sektor pertambangan. Hanya saja, desain APBN dibiayai melalui SDA dengan program nasionalisasi tidak mungkin dieksekusi Prabowo. Karena dua sebab. Pertama, sistem ekonomi yang diadopsi. Kedua, karena kaum oligarki tambang tak akan diam, dan Prabowo akan sulit melawan.

Lantas, ada apa dengan Prabowo? Ada beban yang besar, yang tak akan berkurang dalam waktu dekat. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News