Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Pemilihan walikota dan wakil walikota Pekalongan periode 2024-2029, bagi banyak warga kota Pekalongan termasuk saya sejatinya menantikan para calon untuk lebih berani menawarkan gagasan baru dan inovatif untuk melakukan perubahan mendasar kota Pekalongan.
Ada permasalahan krusial yang diabaikan dan tidak menjadi fokus kedua paslon. Dua masalah yang menjadi sorotan masyarakat saat ini adalah masalah upah minimum kerja (UMK) serta kasus dugaan penggelapan dana nasabah oleh BMT Mitra Umat Pekalongan. Kedua masalah ini akan menjadi tolok ukur keberpihakan kedua paslon terhadap hak-hak ekonomi dan keadilan warga kota Pekalongan.
Masalah UMK sering kali menjadi perdebatan dalam setiap pemilihan kepala daerah. Di Kota Pekalongan, banyak pekerja masih merasa UMK yang ditetapkan belum memenuhi kebutuhan hidup layak, sehingga membuat para buruh berada di bawah garis kesejahteraan yang seharusnya dijamin. Menurut data terakhir, banyak pekerja sektor informal maupun formal di Pekalongan belum menerima upah layak yang mencerminkan kebutuhan hidup di kota ini. Dalam hal ini, keberanian para calon untuk mengambil posisi tegas dalam mendorong UMK yang layak, serta ketegasan dalam melawan tekanan dari kalangan pengusaha, akan menjadi sinyal penting bagi para pemilih. Sikap calon terkait UMK juga menunjukkan keberpihakan terhadap kelompok buruh yang sering kali terpinggirkan. Mengingat kompleksitas persoalan ekonomi di Pekalongan, para calon tidak hanya harus bersikap tegas, tetapi juga mampu menawarkan solusi yang konkret dan aplikatif, seperti insentif bagi pengusaha kecil dan menengah yang mau menaikkan upah pekerjanya sesuai standar layak.
Di sisi lain, kasus dugaan penggelapan dana di BMT Mitra Umat juga menjadi ujian keberanian bagi kedua paslon. Banyak warga kota Pekalongan yang sebagian besar dari golongan ekonomi menengah ke bawah, merasa ditipu dan terabaikan karena dana tabungan Idul Fitri yang seharusnya cair tidak kunjung dicairkan. Kasus ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam perlindungan nasabah koperasi serta lemahnya pengawasan pemerintah terhadap lembaga keuangan lokal (koperasi/BMT).
Kritik kemudian tertuju pada paslon Aaf dan Balqis. Karena baik Aaf maupun Balqis, mereka adalah Walikota Pekalongan dan Ketua DPRD Kota Pekalongan. Dan saat mereka menjabat keduanya memiliki rekam jejak yang kurang responsif terhadap kasus ini, padahal sebagai pemimpin daerah, mereka seharusnya hadir untuk memberikan solusi.
Hingga saat pencalonan mereka sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Pekalongan 2024-2029, keberanian mereka untuk memperjuangkan hak para korban BMT tidak ada sama sekali. Padahal ini akan menjadi indikator tentang sejauh mana mereka berkomitmen terhadap keberpihakan dan keadilan, karena korban BMT ini kebanyakan warga kota Pekalongan.
Paslon nomer urut 2 ini tidak memiliki keberanian untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk bekerja sama dengan otoritas terkait, serta menindak tegas jika terbukti adanya pelanggaran.
Sementara paslon nomer urut 1, Muhtarom dan Musthofa juga sama. Keduanya juga tidak menyentuh sama sekali kasus ini. Sebagai sosok yang tidak memiliki rekam jejak dalam pemerintahan, harusnya Muhtarom tanggap dan berani mengambil sikap atas kasus ini. Minimal dia berani mengambil langkah-langkah progresif atau alternatif dalam menyelesaikan kasus BMT sehingga masyarakat tahu kepeduliannya dan empatinya atas kasus yang merugikan banyak warga kota Pekalongan ini.
Namun, ternyata Muhtarom dan pasangannya memilih untuk menghindar atau hanya menjanjikan janji manis tanpa tindak lanjut, secara tidak langsung sikap mereka ini dapat memunculkan skeptisisme masyarakat terhadap paslon nomer urut 1 tersebut.
Rekam jejak Aaf-Balqis yang terkesan lamban, dan Muhtarom-Musthofa yang terkesan acuh tak acuh adalah fakta yang harus kita saksikan bersama. Secara pribadi saya khawatir terhadap dua paslon ini, siapapun yang terpilih maka kepedulian, progresivitas solusi akan tetap lamban dan nothing. Karena tidak tampak sama sekali di keduanya keberanian untuk memperjuangkan penyelesaian kasus ini dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Secara keseluruhan, masalah UMK dan penggelapan dana BMT Mitra Umat adalah ujian penting bagi kedua pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pekalongan periode 2024-2029. Sikap dan keberanian mereka dalam menuntaskan dua masalah ini akan menunjukkan apakah mereka layak dipercaya untuk memimpin kota ini atau tidak. Para calon dituntut untuk tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga berani mengambil tindakan nyata demi kepentingan warga kota Pekalongan. Wallahualam.