Politik Loyalitas; Cermin Buruk Menggerakkan Kepala Desa oleh Paslon dalam Pilgub Jawa Tengah 2024

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Pada era yang seharusnya sudah lebih terbuka dan transparan, kita masih melihat adanya upaya pengondisian dalam proses demokrasi, termasuk dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Jawa Tengah tahun ini. Pesta demokrasi yang harusnya menjadi momen bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaiknya, justru diwarnai dengan praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Salah satunya adalah dugaan upaya menggerakkan kepala desa untuk mendukung salah satu pasangan calon (paslon) yakni Luthfi-Yasin.

Miris memang, upaya menggerakkan aparat untuk dukung mendukung seolah masif dan terus berulang dalam setiap momen politik, seakan-akan menjadi bagian dari strategi yang harus ditempuh untuk memenangkan kompetisi. Hal ini jelas mencerminkan campur tangan pihak tertentu dalam memanfaatkan aparatur desa sebagai mesin kampanye. Meskipun upaya tersebut akhirnya dibubarkan dan mendapat perhatian dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, namun kenyataan bahwa praktik ini bisa terjadi adalah sebuah kemunduran bagi demokrasi.

Dukungan yang dimobilisasi dari aparat pemerintahan bukan hanya bertentangan dengan etika politik, tapi juga mencerminkan usaha membangun “politik loyalitas” yang tidak sehat. Kepala desa seharusnya menjadi pihak yang netral dalam proses pemilihan, mengingat mereka adalah representasi pemerintah di tingkat akar rumput. Namun, kenyataan bahwa mereka bisa dikerahkan untuk mendukung paslon tertentu menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana integritas demokrasi dipertahankan?.

Lebih jauh, model pengondisian ini juga menunjukkan betapa masih kuatnya praktik-praktik kampanye yang kurang etis. Penggunaan cara-cara kampanye yang meniru pola Pilpres 2024, yakni menggerakkan dukungan aparat, manipulasi suara, hingga politik uang/ bansos adalah tanda bahwa paslon yang bersangkutan kurang percaya diri pada dukungan masyarakat yang sesungguhnya. Cara-cara seperti ini justru akan merusak nilai dari kompetisi demokrasi yang adil dan terbuka, mengubahnya menjadi arena manipulasi dan pengkondisian.

Bagi sebagian paslon, menggiring loyalitas aparat memang telah menjadi pola lama yang seolah-olah harus ditempuh. Bukan hanya dalam Pilgub Jawa Tengah, fenomena serupa telah sering terjadi dalam berbagai pilkada sebelumnya dan yang paling gres adalah pilpres 2024 kemarin. Beberapa politisi percaya bahwa dengan mengamankan dukungan aparat pemerintahan lokal, mereka dapat mengontrol preferensi masyarakat di wilayah tersebut. Ini adalah sebuah pandangan keliru yang justru mengerdilkan nilai-nilai demokrasi, seakan-akan masyarakat tidak memiliki pilihan dan tidak diberi ruang untuk menentukan calon pemimpin mereka sendiri. Selain itu, mengondisikan aparat untuk mendukung paslon tertentu justru akan menimbulkan resistensi dari masyarakat. Mereka akan merasa bahwa aparat pemerintah, yang seharusnya melayani seluruh masyarakat tanpa memandang perbedaan politik, kini menjadi alat politik yang hanya melayani kepentingan segelintir pihak. Hal ini jelas akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah, yang pada akhirnya bisa berdampak pada hubungan jangka panjang antara pemerintah dan rakyat.

Meskipun Bawaslu telah mengetahui adanya pelanggaran tersebut, tantangan terbesar adalah bagaimana menegakkan hukum secara tegas agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Tidak cukup hanya mengetahui dan membubarkan aksi pengondisian, perlu ada sanksi yang memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat.

Namun, tugas ini jelas tidak mudah. Dalam praktiknya, penegakan hukum dalam pelanggaran politik sering kali berhadapan dengan kendala struktural, terutama ketika aparat yang terlibat adalah mereka yang memiliki posisi strategis. Selain itu, dalam beberapa kasus, keterbatasan bukti juga sering kali menjadi alasan yang membuat proses penegakan hukum sulit dijalankan. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat kewenangan Bawaslu dan penegakan aturan dalam setiap tahapan kampanye menjadi sangat penting.

Pesta demokrasi seperti Pilgub Jawa Tengah seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilih mereka dengan bijak dan berani. Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk pengondisian aparat dan politik uang, masyarakat Jawa Tengah harus tetap kritis dan cerdas dalam memilih. Jangan sampai model-model kampanye seperti ini mempengaruhi penilaian masyarakat. Mereka harus memahami bahwa suara mereka tidak boleh dikompromikan, apalagi dijual.

Semoga masyarakat Jawa Tengah tidak tertipu oleh model kampanye yang tidak etis dan manipulatif ini. Karena pada akhirnya, pemimpin yang berkualitas akan membawa kemajuan bagi daerah, sedangkan pemimpin yang dipilih karena praktik-praktik curang hanya akan membawa dampak negatif di masa depan.

Sebagai warga negara, kita juga perlu bersatu padu dalam mendukung proses demokrasi yang sehat dan transparan. Bukan hanya dengan menolak praktik-praktik yang mencederai demokrasi, tetapi juga dengan turut aktif melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi. Dengan begitu, kita bersama-sama dapat menciptakan proses demokrasi yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan kehendak segelintir elit politik yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Untuk mencegah berulangnya kasus-kasus seperti ini, diperlukan reformasi dalam beberapa aspek, terutama dalam pendidikan politik. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa demokrasi bukan sekadar memilih, tetapi juga tentang memiliki kesadaran politik yang sehat dan bijaksana. Di samping itu, peran lembaga pengawas perlu diperkuat agar lebih berdaya dalam menindak pelanggaran. Bawaslu, misalnya, perlu diberikan wewenang yang lebih besar untuk mengawasi dan menindak praktik-praktik kampanye curang yang melibatkan aparat pemerintah.

Harapan kita adalah agar pesta demokrasi ke depan tidak lagi diwarnai dengan pengondisian aparat atau praktik politik uang yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Dengan membangun kesadaran dan edukasi politik yang baik, serta memperkuat pengawasan dan penegakan hukum, kita bisa mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan bermartabat. Masyarakat harus tetap kritis, berani, dan tegas dalam menolak segala bentuk manipulasi, demi terciptanya kepemimpinan yang berintegritas dan bertanggung jawab.

Pada akhirnya, momentum Pilgub Jawa Tengah ini harus menjadi titik balik dalam memperbaiki iklim demokrasi di Indonesia. Semoga ke depan, kita bisa menyaksikan proses pemilihan yang lebih jujur, adil, dan benar-benar mewakili kehendak rakyat.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News