Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Beberapa hari ini, dalam sejumlah siaran youtube di channel Ahmad Khozinudin live & podcast, saya menawarkan solusi Nasionalisasi sektor pertambangan sebagai sumber pemasukan APBN. Selama ini, pembiayaan dan peningkatan pendapatan APBN selalu disandarkan pada pajak dan utang.
Pada 19 September 2024 lalu, DPR telah mengesahkan RUU APBN 2025 menjadi UU APBN 2025. Dalam UU APBN 2025, pendapatan negara dipatok di angka Rp3.005,1 triliun, dimana sebesar Rp2.490,9 triliun diambil dari pajak rakyat. Sementara, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya sebesar Rp513,6 triliun.
Sedangkan total belanja negara tahun 2025 direncanakan mencapai sebesar Rp3.621,3 triliun, termasuk sebesar Rp1.541,4 triliun belanja non-K/L pada belanja pemerintah pusat. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp616,2 triliun.
Defisit sebesar Rp616,2 triliun ini, biasanya akan ditutup dengan utang, baik utang domestik maupun asing. Utang-utang ini, pada APBN selanjutnya akan menjadi beban tambahan, yang akan menambah beban rakyat selaku pihak yang menjadi sumber utama negara melalui pajak.
Lalu, kenapa kita tidak berfikir out of the box? Kenapa cara klasik mengelola APBN, dengan menjadikan pajak dan hutang sebagai sumber pemasukan, tidak segera dikoreksi? Kenapa pula, selalu menyusun APBN dengan model defisit? Bukankah, kultur bijak bangsa kita, tidak mengajarkan mengelola keuangan dengan kaidah besar pasak daripada tiang? Kenapa tidak kita turunkan pengeluaran, jika pemasukan memang belum memadai? Kenapa, kita tidak menggunakan pengelolaan anggaran berimbang, sehingga kita tidak perlu utang dan meningkatkan beban pajak kepada rakyat?
Prabowo sudah mendoktrin menterinya di Akmil Magelang agar disiplin dan loyal kepada Negara. Saatnya, Prabowo loyal kepada Negara dengan mengambil alih seluruh pertambangan yang saat ini hanya menambah kaya raya swasta dan asing, diambil alih oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nasionalisasi itu meliputi pengambil alihan seluruh tambang kekayaan alam negeri ini dari Amerika, China, Oligarki domestik seperti dari tangan Luhut Binsar Panjaitan, Bahlil Lahadalia, Geng Adaro Boy Tohir, dari Hasyim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, Sandiaga Uno, dan dari seluruh individu, swasta, korporasi, asing dan aseng. Termasuk dari ormas NU dan Muhammadiyah. Semua barang tambang yang dalam Islam terkategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah) ini, harus dikelola oleh negara melalui BUMN, dengan program nasionalisasi.
Kekayaan tambang ini dijadikan sumber penerimaan negara (APBN) dan manfaatnya digunakan untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Mencukupi seluruh kebutuhan penguatan APBN.
Pada Maret 2023 lalu, penulis bersama Tim dari Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) dengan tim Ekonomi Muhammad Ishaq, telah menghitung potensi pendapatan negara dari sumber kekayaan alam Indonesia, sebagai berikut:
1. Batubara Indonesia memiliki jumlah cadangan hingga 37.6 miliar ton, dengan harga jual US$318 per Ton, dengan biaya prosuksi hanya US$30 per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Batubara sebesar Rp167,840,572 triliun. Saat ini, produksi Batubara mencapai 687 juta ton per tahun. Itu artinya, ada pendapatan Batubara sebesar Rp3,007 triliun per tahun.
2. Gas Alam Indonesia memiliki jumlah cadangan hingga 62 Miliar MMbtu, dengan harga jual US$20.15 per MMbtu, biaya prosuksi US$5 per MMbtu. Jika 1 US$ kursnya Rp15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Gas Alam sebesar Rp5,635 triliun. Saat ini, produksi Gas Alam Indonesia mencapai 2.1 miliar MMbtu per tahun. Itu artinya, ada pendapatan Gas Alam sebesar Rp483 triliun per tahun.
3. Emas Indonesia memiliki jumlah cadangan 2,600 ton, dengan harga jual US$60,999,996 per ton, biaya produksi US$1,344,000 per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Emas sebesar Rp167,840,572 triliun. Saat ini, produksi batubara mencapai 687 juta ton per tahun. Itu artinya, ada potensi pendapatan sebesar Rp2,097 triliun dari cadangan Emas Indonesia. Saat ini, produksi Emas 70 ton per tahun dengan pendapatan Rp63 Triliun per tahun.
4. Nikel Indonesia memiliki jumlah cadangan 81 juta ton, dengan harga jual US$ 28,195 per ton, biaya produksi US$ 1,111 per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Nikel sebesar Rp20,568,643 triliun. Saat ini, produksi Nikel mencapai 1,6 juta ton per tahun. Itu artinya, ada pendapatan nikel Rp659 Triliun per tahun.
5. Kekayaan Laut Indonesia menurut perhitungan Prof Rohmin Dahuri memiliki cadangan kekayaan senilai US$1,330 miliar. Jika 1 US$ kursnya Rp15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Kekayaan Laut sebesar Rp18,886 triliun. Jika diasumsikan, per tahun tergarap 10 persennya, maka Indoensia mendapatkan kekayaan dari hasil laut sebesar 18,886 triliun per tahun.
6. Kekayaan hutan Indonesia menurut perhitungan Prof Fahmi Amhar memiliki hutan 100 juta hektar. Jika per pohon nilainya 1 juta, per pohon x 20 pohon/ha, maka akan ada potensi 2,000 triliun. Jika yang ditebang separuhnya saja per tahun dari potensi tersebut, maka akan didapat pendapatan dari hasil hutan sebesar Rp1,000 triliun per tahun.
Jika dihitung secara total, maka dari enam kekayaan alam tersebut didapatkan potensi cadangan pendapatan sebesar Rp20,655,696 triliun dan yang berhasil di ekspoitasi produksinya menghasilkan Rp7,101 triliun per tahun.
Saat kekayaan alam kita dikelola oleh Negara secara mandiri melalui program nasionalisasi, kebutuhan anggaran Rp 3.000 triliun per tahun itu bisa dicukupi tanpa menarik pajak. Bahkan, utang negara bisa dilunasi hanya dalam waktu 3 tahun APBN.
Kita tunggu saja, apakah Prabowo berani dan loyal kepada Negara, dengan mengambil alih seluruh tambang dari swasta dan asing di republik ini. Karena jika hal itu dilakukan, sejatinya Prabowo akan menjadi patriotik sejati yang tidak tunduk pada oligarki, dan benar-benar bekerja dan mengabdi kepada rakyat.