Oleh: Achmad Machbub (Pengamat Ekonomi Global)
Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono secara resmi mengajukan diri bergabung menjadi anggota kelompok negara-negara berkembang BRICS. Konfrensi tingkat tinggi BRICS yang di laksanakan di Kazan, Rusia berlangsung pada kamis 24 oktober 2024 tersebut dihadiri 36 pemimpin Negara. Dikarenakan Presiden Prabowo baru dilantik dan masih mengurusi transisi pemerintahan sehingga secara resmi Presiden mengutus Sugiono selaku Menteri Luar Negeri Indonesia untuk mengikuti helatan KTT di negeri Putin tersebut.
Apa itu BRICS?
BRICS adalah sebuah akronim dari negara-negara pendiri kelompok tersebut yaitu: Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Bisa dikatakan BRICS adalah blok negara-negara yang membentuk kemitraan ekonomi dan politik dalam rangka menyaingi dominasi Barat. Istilah tersebut diciptakan pada tahun 2001 oleh ekonom Goldman Sachs Jim O’Neill (tetapi saat itu Afrika Selatan tidak termasuk di dalamnya). Ia yakin bahwa pada tahun 2050 keempat ekonomi BRIC akan mendominasi ekonomi global. Afrika Selatan ditambahkan ke dalam daftar tersebut pada tahun 2010. saat ini anggota tetapnya bertambah yaitu Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Sedangkan Indonesia bersama 12 negara lain yaitu: Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam menjadi anggota mitra BRICS.
Manfaat Indonesia gabung BRICS
Pertama, sebagaimana tujuan utama didirikanya BRICS bahwa aliansi ini memiliki tujuan utama untuk menjunjung tinggi perdamaian, keamanan dan kesejahteraan bersama. Sehingga dalam hal ini Indonesia memiliki momentum untuk menegaskan dirinya bahwa Indonesia memiliki politik luar negeri bebas aktif. Yang mana hal ini merupakan pendekatan diplomasi yang diterapkan Indonesia untuk menjaga kedaulatan, kebebasan, dan kepentingan nasionalnya. Tujuannya adalah untuk mewujudkan ketertiban dunia yang berlandaskan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Di saat yang sama perdamaian global saat ini sedang terkoyak oleh tindakan agresor Israel di Palestina dan Lebanon dan anehnya didukung kekuatan penuh oleh Amerika dan sekutu baratnya. Jika Indonesia berada dalam aliansi ini bisa dikatakan Indonesia ikut berdiri pada barisan menentang penjajahan yang disponsori kekuatan barat.
Kedua, disamping bertujuan menjunjung tinggi perdamaian dunia, aliansi ini juga bertujuan untuk menampung suara negara-negara berkembang yang kurang dominan dalam dunia internasional. Walaupun Indonesia sempat digolongkan termasuk negara maju oleh Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) namu realita berkata lain. Dalam artikel harian Kompas 18/8/2022 disebutkan bahwa Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada tahun 2020 adalah 1,06 triliun dollar AS (Rp 15,73 kuadriliun). Adapun PDB per kapita Indonesia pada 2020 adalah 3.869 dollar AS (Rp 57,43 juta) dengan populasi 273,52 juta penduduk. Sedangkan HDI Indonesia pada 2019 adalah 0,718 walaupun tidak ada persyaratan standar nilai HDI minimum untuk menjadi negara maju, tetapi sebagian besar negara maju nilai HDI-nya tidak kurang dari 0,8. Dari sini jelas bahwa Indonesia masih dalam kategori negara berkembang yang memerlukan aliansi sesama negara berkembang untuk menggalang kekuatan eknomi dan politiknya. Indonesia memiliki pangsa pasar terbesar ketiga setelah China dan India tentu saja ini adalah sebagai human capital bagi Indonesia untuk memperkuat di bidang ekonomi.
Ketiga, setelah dilantiknya Prabowo sebagai Presiden Indonesia ke-8 memiliki program yang unik yaitu mengadakan pembekalan untuk para menterinya di Akmil Magelang. Secara tersirat ini menunjukkan bahwa Prabowo memiliki obsesi bahwa Indonesia di bawah kepemimpinannya harus menjadi negara yang kuat baik secara ekonomi maupun militer. Sehingga julukan “Macan Asia” yang dulu pernah disandang Indonesia kembali melekat disandang oleh negara terbesar di kawasan Asia Tenggara ini.
Dengan bergabungnya Indonesia dalam aliansi BRICS Indonesia di bawah kepemimpinanya Prabowo diharapkan menjadi “Bargaining Power” Kabinet Merah Putih untuk meyakinkan masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat Asia Tenggara pada umumnya bahwa Indonesia layak memimpin kawasan.