Oleh: Rokhmat Widodo, Guru SMK Luqmanul Hakim Kudus, Kader Muhammadiyah Kudus
Stigma masyarakat kita, termasuk secara keseluruhan, sering memipertanyakan apakah perlu kita (secara umum) berpolitik. Ada yang mengatakan perlu, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan tidak, antara lain mengemukakan bahwa politik itu kotor, dan bila kita berkecimpung di dalamnya kekotoran tadi dengan sendirinya tidak bisa dihindarkan; kita turut kotor. Tapi yang mengatakan perlu, menunjuk pada kenyataan bahwa secara umum politik tidak bisa dihindarkan. Bila kita tidak berpolitik, maka orang lain (yang mungkin saja kotor) akan menentukan kehidupan berpolitik itu; kita suka atau tidak suka. Ulasan ini akan mengemukakan bahwa memang politik itu tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebaiknya kita turut berpolitik dengan catatan bahwa kita menegakkan politik yang bersih.
Politik, dalam kehidupan masyarakat zaman dahulu, praktis menyeret kehidupan umum masyarakat. Plato (429-347 SM) dari zaman Yunani Kuno, seperti juga para ahli mereka yang lain, berpendapat bahwa politik itu mencakup semua bidang hidup masyarakat. Karena itu, semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya. hanya budak belian saja. Orang Yunani Kuno memang bertumpu pada budak belian ini dalam membina kehidupannya yang tidak berpolitik. Maka buku Plato tersebut, dengan judul Politeia, membahas juga soal pendidikan, kepercayaan, dsb.
Pada masa Nabi kita, Muhammad SAW, kehidupan lebih komprehensif. Manusia melakukan perdagangan, namun dengan kedatangan Nabi kita, perdagangan harus ditempatkan dalam kerangka akhlak. Faktanya, semua kehidupan harus didasarkan pada kerangka ini. Kalaupun persoalan hukum dibawa ke hukum syariat, syari’at (Islam) ini mencakup pula segala bidang hidup, termasuk akhlak. Maka Nabi memegang kekuasaan di zaman ia berada Madinah (kemudian juga termasuk Makkah) sehingga terkenal apa yang disebut Konstitusi Madinah, yang oleh sebagian pakar disebu sebagai Konstitusi Pertama di dunia. Dengan sendirinya politik pun mencakup semua soal hidup. Ini berarti bahwa menurut Sunnah (selain Qur’an) Islam juga mencakup bidang politik.
Pemahaman politik dalam arti modern d Eropa (dan Barat pada umumnya) dimulai setelah berakhirya Abad Tengah, dengan pemisahan kehidupan dunia dengan kehidupan rohani. Paus Gelasius, masih dalam abad ke- 5, mengatakan antara lain bahwa Render unto Caesar what is Caesar’s, render unto God what is God’s (Berikan/bayarkan kepada kaisar apa yang kaisar punya, dan kepada Tuhan apa yang Tuhan punya). (menurut Alkitab, Kutipan Mattius 22:21, 1952; Alkitab menggunakan kata “bayarkan”). Dalam Abad Tengah di Barat, kedua jenis kekuasaan ini bertarung sengit. Tetapi setelah Abad Tengah, kehidupan pun terpisah dua; rohani dan jasmani (atau pun tuntutan akhirat dengan dunia). Inilah yang disebut sekularisme, kehidupan dunia, terutama kekuasaan dunia, yang terbebas dari agama yang dikepalai oleh para pendeta Kristen. Faham sekuler ini pula yang berpengaruh pada sebagian kalangan bangsa kita, termasuk yang masih mengaku beragama Islam.
Lepas dari soal hubungan antara agama dan kehidupan dunia, politik di era demokrasi modern, ditentukan oleh seluruh rakyat di negara yang bersangkutan. Tidak demokratis, bergantung pada nasib rakyat (maksudnya politik) pada penguasa yang otoriter atau diktator.
Ketergantungan terhadap penguasa ini kita alami pada era Demokrasi Terpimpin dan pada era Orde Baru serta Orde Reformasi dengan pemilihan langsung baik itu ditingkat eksekutif dan legislatif. Ketiga masa tersebut menyuruh rakyat untuk berpolitik sesuai keinginan penguasa. Jadi rakyat yang tidak ikut menentukan arah politik negara, hanya menjadi penguat ketentuan penguasa.
Dalam alam demokrasi pun kadang-kadang terjadi juga penguasa politik oleh sebagian kalangan yang menepiskan keinginan kalangan lain. Partai berkuasa, umpamanya, menepis keinginan partai yang tidak berkuasa. Ini akan mengalihkan demokrasi kepada diktator atau kekuasaan otoriter. Kalau ini berlaku terus-terusan, ada kemungkinan bahwa mereka yang diperintah akan senantiasa menggoncang yang memerintah. Akibatnya tentu negeri tidak akan aman dan rukun.
Maka tidak akan jalan lain dalam berpolitik itu, kecuali bila rakyat seluruhnya, semua golongan, semua mereka yang menjadi warga negara dari negara bersangkutan, turut aktif berpolitik. Kadar dan frekuensi keaktifan tentu tidak sama antara semua warga negara tersebut, ada yang lebih aktif, ada yang kurang aktif, malah ada yang hanya berpolitik pada saat pemilihan umum. Namun pada prinsipnya mereka harus berpolitik. Mereka yang tidak turut berpolitik, politiknya ditentukan oleh orang lain yang aktif. Ini termasuk kalangan Islam, yang seharusnya mencontoh kehidupan Nabi Muhammad saw yang juga brkiprah dalam semua bidang hidup, termasuk politik.