Paradoks Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Beberapa hari terakhir, banyak beredar video di berbagai platform media sosial yang memperlihatkan perilaku tidak sopan siswa terhadap guru mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan dalam adab atau tata krama siswa, terutama dalam interaksi mereka dengan pengajar di sekolah. Dalam beberapa video, terlihat siswa yang ketika ditanya mengenai pekerjaan rumah (PR) yang tidak dikerjakan, memberikan jawaban yang cenderung seenaknya, seperti “ya gak mau aja,” tanpa ada rasa bersalah atau tanggung jawab. Selain itu, gestur tubuh dan cara berbicara siswa kepada guru sering kali tidak sopan, seolah-olah mereka berbicara dengan teman sebaya, bukan dengan sosok yang seharusnya dihormati karena lebih tua.

Perilaku seperti ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran. Apakah pendidikan dasar tentang akhlak, adab, dan sopan santun sudah mulai memudar? Apakah para guru merasa khawatir untuk bersikap tegas karena takut melanggar undang-undang perlindungan anak? Dalam situasi yang semakin kompleks ini, perlu ada upaya serius untuk menganalisis penyebab dan mencari solusi dari permasalahan ini.

Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang memiliki budi pekerti luhur. Pendidikan tentang adab dan akhlak menjadi pilar penting dalam membentuk karakter seorang siswa. Namun, semakin hari, kita melihat semakin memudarnya penekanan terhadap aspek-aspek tersebut dalam proses pendidikan di sekolah. Banyak orang tua dan guru yang lebih fokus pada pencapaian akademis semata, sehingga mengabaikan pendidikan karakter dan adab.

Salah satu indikasi jelas dari penurunan ini adalah meningkatnya kasus ketidakpatuhan siswa terhadap guru. Hilangnya rasa hormat terhadap otoritas pendidikan menunjukkan bahwa ada kekosongan dalam penanaman nilai-nilai moral yang seharusnya dibangun sejak dini. Kehadiran teknologi dan media sosial juga turut berperan dalam mempengaruhi perilaku anak-anak, di mana mereka lebih banyak terpapar konten yang tidak mendidik dan kurangnya kontrol dari pihak orang tua.

Undang-undang Perlindungan Anak yang hadir untuk melindungi hak-hak anak dari berbagai bentuk kekerasan dan perlakuan salah, tanpa disadari, telah menimbulkan efek samping bagi dunia pendidikan. Banyak guru yang merasa tertekan dan takut untuk bersikap tegas atau mendisiplinkan siswa, karena khawatir akan dianggap melanggar hak anak atau bahkan berhadapan dengan hukum. Dalam banyak kasus, guru yang bermaksud mendisiplinkan siswa malah berakhir dengan masalah hukum karena tindakan mereka disalahartikan sebagai kekerasan.

Akibatnya, wibawa guru menurun drastis di hadapan para siswa. Rasa takut terhadap kemungkinan dilaporkan oleh siswa atau orang tua membuat banyak guru memilih untuk tidak menegur atau mengoreksi perilaku siswa yang buruk. Ini tentu menjadi masalah serius, karena disiplin merupakan salah satu elemen penting dalam pembentukan karakter siswa. Ketika seorang guru tidak lagi berani menegakkan disiplin, maka siswa akan kehilangan figur yang seharusnya menjadi teladan dalam hal etika dan moral.

Selain faktor-faktor di atas, rendahnya adab siswa terhadap guru juga tidak lepas dari peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Di era modern ini, banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan atau aktivitas lain, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengawasi dan mendidik anak-anaknya di rumah. Pendidikan karakter yang seharusnya dimulai dari rumah menjadi terabaikan, dan anak-anak dibiarkan belajar nilai-nilai yang salah dari lingkungan di luar keluarga.

Ketika siswa tidak mendapatkan penanaman nilai-nilai moral yang kuat dari rumah, maka sekolah menjadi tempat utama yang diharapkan dapat mengajarkan adab dan tata krama. Namun, jika sekolah tidak didukung dengan ketegasan guru dalam mendidik, maka pendidikan moral siswa menjadi terabaikan. Orang tua dan guru seharusnya saling bekerja sama dalam mendidik anak-anak, bukan saling melempar tanggung jawab.

Fenomena ini juga memperlihatkan adanya krisis dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan tidak hanya melibatkan proses transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Oleh karena itu, kurikulum yang ada harus memberikan penekanan yang lebih besar pada pendidikan karakter, adab, dan moralitas. Tidak cukup hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran akademis tanpa menanamkan nilai-nilai etika yang mendasar.

Para pembuat kebijakan pendidikan perlu menyadari bahwa pendidikan karakter adalah fondasi utama dari pembentukan generasi yang bermoral. Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini harus dievaluasi untuk memastikan bahwa nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan kedisiplinan tetap menjadi bagian integral dari proses pendidikan. Selain itu, perlindungan terhadap guru juga harus diperkuat agar mereka tidak merasa takut dalam menjalankan tugas mendidik.

Tidak bisa dipungkiri, pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan akses informasi melalui internet turut memberi dampak signifikan terhadap sikap dan perilaku siswa. Anak-anak masa kini hidup di era digital, di mana mereka dapat dengan mudah mengakses konten-konten yang tidak sesuai dengan usia mereka, serta terpengaruh oleh tren-tren yang sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah atau di rumah.

Media sosial misalnya, banyak sekali memperlihatkan gaya hidup atau perilaku yang kurang mendidik, dan ini dengan cepat diikuti oleh anak-anak tanpa menyaring apakah itu benar atau tidak. Jika tidak ada kontrol dari pihak keluarga maupun sekolah, maka tidak heran jika sikap-sikap yang mereka lihat di media sosial dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di sekolah. Karena itu, sangat penting bagi orang tua dan guru untuk memberikan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan teknologi oleh anak-anak.

Untuk mengatasi krisis ini, perlu ada upaya serius dalam membangun kembali harmonisasi hubungan antara guru dan siswa. Proses pembelajaran yang ideal harus melibatkan interaksi yang baik dan sehat antara guru dan siswa. Guru harus bisa menjadi teladan dalam hal moral dan etika, sementara siswa harus diajarkan untuk menghormati otoritas guru dan mengikuti aturan yang ada di sekolah.

Membangun hubungan yang harmonis ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika ada kerja sama yang baik antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat. Setiap elemen masyarakat harus berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai adab dan tata krama kepada generasi muda.

Kita harus menyadari bahwa peran guru dalam mendidik siswa bukanlah hal yang bisa diabaikan. Guru adalah pilar penting dalam mencetak generasi yang bermoral, dan siswa harus diajarkan untuk menghargai dan menghormati mereka. Sebaliknya, guru juga harus diberi perlindungan yang memadai agar bisa mendisiplinkan siswa dengan cara yang tepat tanpa merasa terancam oleh hukum. Hanya dengan demikian, kita bisa menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan produktif.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News