Oleh: Lukas Luwarso
Situasi politik di Indonesia akhir-akhir ini, dengan “dua aktor utama” Jokowi dan Prabowo, bisa dianalogikan dalam dua kisah cerita populer: The Devil’s Advocate dan The Divine Comedy. Film The Devil’s Advocate (1997), dibintangi Al Pacino dan Keanu Reeves, menggambarkan psikosa Jokowi. Sedangkan syair klasik karya Dante Alighieri, Divina Comedia, merepresentasikan perjalanan turbulensi politik Prabowo.
Jokowi adalah tipikal si antagonis dalam The Devil’s Advocate. Prabowo adalah sI protagonis dalam lakon The Divine Comedy. Jokowi jenis manusia lemah Iman yang terjerumus dalam godaan kekuasaan, vanity is his favourite sin. Sedangkan Prabowo, adalah manusia yang sedang diuji untuk melewati proses parabel “siksa neraka dan pertobatan” (inferno dan purgatory): into the eternal darkness, into fire and ice.
The Devil’s Advocate, Jokowi, memberi pelajaran, lesson learned, tentang “tragedi” manusia, terkait: ambiguitas moral, kekuasaan versus moralitas. Ia terjebak dalam sisi gelap politik kekuasaan, antara mengutamakan keuntungan pribadi keluarga dan kroni (politik pragmatis) dengan kepentingan publik (politik etis).
Jokowi terjerembab dalam politik manipulatif dan koruptif, menjadi bukti power tends to corrupt. Ambisi dan vanity kekuasaan selalu mengarah pada kompromi moral, mengejar pengakuan (legacy), merasa paling bisa. The Devil’s Advocate adalah kisah pengingat tentang bahaya ambisi dan vanity kekuasaan yang tidak terkontrol. Yang cepat atau lambat bakal berujung pada tragedi.
Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari tragedi Jokowi adalah, kekuasaan menggoda manusia (yang lemah etika) untuk melakukan hal-hal buruk. Kekuasaan Jokowi memfasilitasi, mengamplifikasi, dan merasionalisasi politik manipulatif. Mengadvokasi politik kesetanan.
Jokowi telah merancang orkestrasi proses alih kekuasaan, turun tahtanya, secara presisi. Merasa menjadi “raja” di republik yang memiliki aturan konstitusi. Ia terlambat sadar, tidak semua kemauan dan ambisinya bisa terwujud. Niatnya untuk melanjutkan kekuasaan melalui slogan “perpanjangan kekuasaan, memundurkan pemilu, atau tiga periode” gagal. Ia mencari cara lain untuk bisa terus berkuasa secara proxy, melalui putra sulungnya.
Untuk ambisi itu, Jokowi memandulkan kelembagaan negara, dari parpol, birokrasi, parlemen, MK, MA, kehakiman, aparat desa, hingga Polri dan TNI, memanipulasi Pilpres agar anak sulungnya naik ke tahta kuasa nomor dua. Ia ketagihan mudahnya menempatkan keturunan, kerabat dan kroinya untuk menjadi elit republik.
Setelah sukses berturut-turut, hatrick, mengegolkan anak-mantunya menjadi walikota, menjadi ketua parpol, menjadi juragan tambang, juga kerabat dan kroninya duduk di berbagai posisi penting, termasuk menjadikan putra sulungnya sebagai wakil presiden. Bukan mustahil sejurus pat-gulipat muslihat berikutnya adalah menaikkan Gibran menjadi presiden. Tapi apakah Prabowo akan memfasilitasi naik tahtanya Gibran, atau justru menghentikannya?
Prabowo dan Jokowi adalah political strange-bedfellow, kawan dalam sengkarut, musuh dalam selimut. Belum bisa diketahui akhir dari persekongkolan perkawanan politik mereka, akankan berakhir sebagai tragedi atau komedi dalam perebutan kekuasaan hingga 2029?
Yang past, Prabowo pernah mengalami tragedi politik. Perjalanan karir politiknya adalah parabel kisah “Komedi Illahi” (The Divine Comedy, Dante). Ia pernah melewati perjalanan roller-coaster politik yang pelik. Terlahir dalam keluarga aristokrasi politik, menjadi menantu presiden, dan saat selangkah lagi menjadi Panglima TNI politik menghempaskannya dalam jurang kepedihan. Ia terusir, atau mengusir diri, meninggalkan negeri yang luluh lantak dan morat-marit akibat krisis eknonomi dan politik.
Prabowo pernah berada dalam “neraka” politik. Tercampakkan, dipecat dari TNI, dan didakwa sebagai penculik aktivis. Untunglah ada _deus ex-machina,_ dalam sosok Megawati, mengajaknya pulang, untuk melakukan pertobatan, dan bisa kembali berpolitik. Megawati adalah “dewi penolong” Prabowo, terlepas dari inferno pengasingan diri di Yordania, setelah tragedi politik 1998.
Fase yang kini sedang dijalani Prabowo, dalam parabel kisah Divina Comedia Dante, adalah masa pertobatan. Fase setelah lepas dari kegelapan (inferno), harus meniti pertobatan (purgatorio), untuk menuju pengungkapan cahaya kebenaran (paradiso). Namun apakah Prabowo akan melangkah menuju paradiso, tergantung bagaimana ia lulus menjalani fase pertobatan saat ini.
Prabowo saat ini punya kesempatan untuk bertobat “menghapus” dosa-dosa politik masa lalunya, agar bisa lepas dari purgatorio.”Komedi Ilahi” Dante dapat ditafsirkan sebagai alegori perjalanan manusia, atau bangsa, menuju keselamatan dan kemakmuran. Prabowo diberi mandat oleh rakyat untuk mengelola negara dengan benar, dengan tidak melanjutkan keburukan dan kerusakam era Jokowi.
Dalam meniti jalan kebenaran, Prabowo perlu memilih para pendamping yang benar. Ia mustahil menjadi benar jika didampingi orang-orang yang tidak benar. Kecenderungan sejauh ini, dari proses penyusunan kabinet, sepertinya pertobatan itu belum terjadi.
Prabowo terkesan kuat masih memilih bersekutu dengan The Devil’s Adovocate. Rakus menempatkan orang-orang yang akan memuja dan menjilatnya. Menyusun kabinet gemuk, yang pasti akan boros menghisap anggaran dan dana rakyat. Pertobatan tidak akan terjadi, jika politik gemoy, jogetin aja, dan etik ndasmu masih berlanjut. Pertobatan yang gagal akan membawa negeri ini, dan Prabowo, kembali pada tragedi.