Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Kemarin, 20 Oktober 2024, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia telah dilantik untuk masa jabatan 2024-2029. Momentum ini, yang seharusnya menjadi perayaan demokrasi dan kedaulatan rakyat, terasa berbeda. Ada rasa getir di balik kemegahan upacara pelantikan di Gedung DPR/MPR RI. Sosok Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang secara formal telah memenangkan pemilu, menghadirkan tanda tanya besar terkait masa depan demokrasi di Indonesia. Bukan hanya soal kemenangan mereka, tetapi proses yang menjadikan mereka maju sebagai pasangan capres cawapres, yang penuh dengan kontroversi dan polemik hukum, terutama terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 tahun 2023.
Putusan MK tersebut, yang mengizinkan Gibran maju meskipun usianya belum memenuhi syarat konstitusional, membuka kembali perdebatan panas mengenai integritas lembaga-lembaga negara dan pengaruh kekuasaan dalam politik Indonesia. Sebelumnya, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40 tahun. Gibran, yang pada saat pencalonannya masih berusia 36 tahun, jelas-jelas tidak memenuhi syarat ini. Namun, melalui putusan MK yang kontroversial, aturan ini diubah untuk memberi ruang bagi; yang “sedang atau pernah menjabat sebagai kepala daerah”. Gibran, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo, langsung memenuhi syarat berkat revisi ini.
Publik tahu bahwa Gibran adalah anak sulung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), sosok yang telah berkuasa selama dua periode berturut-turut. Hubungan darah ini tentu saja menjadi sorotan utama, terutama setelah terungkap bahwa salah satu hakim MK yang terlibat dalam memutus perkara nomor 90 memiliki hubungan keluarga dengan Jokowi. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan dan tudingan bahwa independensi MK telah digadaikan demi ambisi politik keluarga Jokowi.
Meskipun Mahkamah Konstitusi mencoba menjaga citra sebagai lembaga independen dan bebas dari intervensi politik, realitas politik di lapangan berbicara sebaliknya. Publik skeptis bahwa putusan ini semata-mata didasari oleh pertimbangan hukum yang objektif. Sebaliknya, banyak yang percaya bahwa putusan ini merupakan bentuk dari skenario politik yang disusun rapi untuk melanjutkan dinasti politik Jokowi.
Kita nanti akan menyaksikan bagaimana putusan MK ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia di masa yang akan datang. Banyak yang menganggap bahwa putusan ini merupakan bentuk “penyesuaian hukum” untuk memfasilitasi ambisi politik elite, terlepas dari kepentingan rakyat. Sebagai produk dari putusan kontroversial ini, pelantikan Prabowo dan Gibran mencerminkan bahwa Indonesia semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan transparan.
Kontroversi putusan MK ini tidak akan segera terlupakan. Mau tidak mau, suka tidak suka, bayang-bayang putusan MK nomor 90 akan terus menghantui pemerintahan Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan. Meskipun secara formal mereka telah terpilih dan menjalani proses pelantikan sesuai aturan, legitimasi moral dari kepemimpinan mereka akan terus dipertanyakan.
Banyak pengamat politik, pemerhati sosial demokrasi, termasuk saya sudah mewanti-wanti bahwa kepemimpinan yang lahir dari proses kontroversial ini berisiko kehilangan kepercayaan publik. Demokrasi tidak hanya soal prosedur pemilu, tetapi juga rasa keadilan dan kepatutan yang dirasakan oleh rakyat. Dalam konteks ini, pelantikan Prabowo-Gibran tidak hanya soal suksesi kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kita dipertontokan lembaga-lembaga negara bisa dengan mudah “dimanipulasi” oleh kekuatan politik tertentu.
Dalam banyak diskusi publik, muncul pertanyaan besar: apakah Indonesia sedang berjalan mundur dalam hal demokrasi? Apakah kehadiran putusan-putusan hukum yang memihak pada elite kekuasaan ini menjadi indikasi bahwa kita semakin jauh dari cita-cita reformasi?
Gibran Rakabuming Raka, dengan latar belakang pengalaman singkat sebagai walikota, mungkin masih terlalu muda untuk memikul beban sejarah yang begitu besar di pundaknya. Terlepas dari kemampuannya, fakta bahwa ia adalah putra dari Presiden Jokowi tak bisa diabaikan begitu saja. Kecurigaan tentang upaya melanggengkan kekuasaan keluarga terus mengemuka. Meskipun Jokowi berulang kali menyatakan tidak terlibat dalam proses politik pencalonan anaknya, kenyataan politik menunjukkan sebaliknya.
Kekhawatiran akan munculnya dinasti politik semakin nyata dengan fenomena ini. Indonesia, yang semula bercita-cita menjadi negara demokrasi yang kuat dan mandiri, kini justru terjebak dalam dinamika politik kekeluargaan. Fenomena dinasti politik memang bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia, tetapi kasus Gibran memperlihatkan bagaimana kekuatan politik keluarga bisa mengubah aturan main/ aturan hukum demi kepentingan pribadi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Di berbagai daerah, kita melihat bagaimana keluarga-keluarga elite politik mendominasi panggung politik lokal. Hal ini mencerminkan bahwa demokrasi di Indonesia masih sangat rapuh dan mudah diintervensi oleh kekuatan oligarki. Dinasti politik bukan hanya soal satu keluarga yang memegang kendali, tetapi juga tentang bagaimana akses terhadap kekuasaan dan sumber daya publik menjadi terbatas bagi mereka yang berada di luar lingkaran kekuasaan.
Pelantikan Prabowo dan Gibran di tengah kontroversi ini menjadi simbol dari tantangan besar yang dihadapi demokrasi Indonesia ke depan. Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi terbesar keempat di dunia, Indonesia seharusnya menjadi contoh demokrasi yang matang dan berintegritas. Namun, realitas politik saat ini memperlihatkan sebaliknya.
Harapan rakyat agar demokrasi bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan semakin pudar dengan adanya praktik-praktik politik seperti ini. Rakyat hanya bisa berharap bahwa dalam lima tahun ke depan, khususnya Prabowo harus mampu membuktikan bahwa dia bukan hanya produk dari skenario politik elit, tetapi pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi Indonesia.
Namun, apakah rakyat benar-benar memiliki pilihan dalam proses ini? Pemilu yang seharusnya menjadi ajang untuk mengekspresikan kehendak rakyat, terasa seperti ajang formalitas belaka ketika aturan bisa diubah dan dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan. Dalam konteks ini, demokrasi Indonesia sedang menghadapi ujian berat.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 tidak hanya menjadi momen transisi kekuasaan, tetapi juga refleksi dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Putusan MK nomor 90 akan terus menghantui, bukan hanya bagi Prabowo dan Gibran, tetapi juga bagi perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Entah apa yang akan terjadi lima tahun mendatang, tetapi satu hal yang pasti, demokrasi Indonesia saat ini sedang tidak baik baik saja, sedang berada di titik kritis. Wallahualam