Dilema Pendidikan Indonesia, Antara Kurikulum Merdeka dan UU Perlindungan Anak

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Dilema pendidikan di Indonesia saat ini menempatkan para pendidik di posisi sulit, terutama ketika menghadapi tantangan baru dari Kurikulum Merdeka yang digabungkan dengan penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak. Di satu sisi, Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan yang lebih besar kepada siswa untuk berkreasi, belajar mandiri, dan berpikir kritis. Kurikulum ini dirancang untuk mendorong pembelajaran yang lebih kontekstual dan fleksibel, memungkinkan siswa menggali potensi mereka tanpa terlalu dibatasi oleh aturan yang kaku. Namun, kebebasan yang diberikan oleh Kurikulum Merdeka juga menyisakan tantangan baru bagi para guru, terutama ketika mereka harus berurusan dengan siswa yang tidak disiplin atau berperilaku buruk.

Para guru menghadapi dilema besar ketika harus menangani siswa yang sulit diatur atau nakal. Tindakan tegas yang biasa dilakukan oleh guru di masa lalu kini berada di bawah pengawasan ketat karena adanya UU Perlindungan Anak. Undang-undang ini melindungi hak-hak anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Meskipun ini adalah langkah penting dalam melindungi anak-anak dari tindakan yang tidak pantas, peraturan ini juga membuat guru terjebak dalam kebingungan. Ketika guru berusaha menegakkan disiplin di kelas, mereka sering kali khawatir bahwa tindakan mereka akan dianggap sebagai pelanggaran hukum dan berpotensi membawa mereka berhadapan dengan orang tua atau pihak berwenang.

Akibatnya, banyak guru merasa wibawa mereka di depan siswa semakin tergerus. Mereka tidak dapat menjalankan peran sebagai pendidik dan pengelola disiplin yang efektif karena rasa takut yang konstan akan reaksi negatif. Hal ini menyebabkan situasi di mana siswa menjadi lebih berani bertindak sesuka hati, karena mereka tahu bahwa guru tidak memiliki banyak ruang gerak untuk menindak tegas perilaku yang buruk. Dalam beberapa kasus, siswa yang sulit diatur justru memanfaatkan situasi ini untuk melawan otoritas guru, yang pada akhirnya merugikan proses pembelajaran dan menciptakan suasana kelas yang tidak kondusif.

Dilema ini semakin memperburuk hubungan antara guru dan siswa. Di satu sisi, guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas membimbing, mendidik, dan membentuk karakter siswa. Di sisi lain, mereka juga harus mematuhi aturan hukum yang ketat, yang sering kali membatasi ruang gerak mereka dalam menegakkan disiplin. Siswa yang tidak terkontrol dapat mengganggu dinamika kelas, menghambat pembelajaran, dan merusak moral guru. Sayangnya, ketakutan akan menghadapi ancaman hukum sering kali membuat guru memilih untuk diam atau mengambil pendekatan yang lebih longgar dalam menghadapi siswa yang bermasalah.

Kondisi ini mengakibatkan hilangnya keseimbangan yang diperlukan dalam proses pendidikan. Guru, yang seharusnya menjadi panutan dan figur otoritas di dalam kelas, kehilangan wibawa di mata siswa. Ini bisa berdampak buruk pada kualitas pembelajaran karena siswa merasa tidak ada konsekuensi atas perilaku mereka. Pada akhirnya, hal ini juga mempengaruhi motivasi guru untuk mengajar secara optimal.

Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan solusi penyeimbang yang melibatkan berbagai pihak: pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan siswa. Setiap elemen ini harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang adil, di mana hak-hak siswa tetap terlindungi tanpa mengorbankan otoritas dan peran penting guru.

Pemerintah harus memainkan peran penting dalam memberikan pedoman yang lebih jelas mengenai penerapan UU Perlindungan Anak di sekolah, khususnya terkait disiplin dan tindakan yang diambil oleh guru. Sebaiknya, pemerintah membuat regulasi yang melindungi guru dari tindakan hukum yang berlebihan, selama mereka menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab dan tidak melakukan kekerasan. Pemerintah juga bisa menyediakan program pelatihan bagi guru untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam menangani siswa yang bermasalah dengan cara yang efektif dan sesuai hukum.

Sekolah harus menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara penerapan disiplin dan perlindungan anak. Sistem pengawasan yang lebih baik bisa diterapkan untuk memantau interaksi antara guru dan siswa. Selain itu, sekolah dapat bekerja sama dengan konselor atau psikolog pendidikan untuk menangani siswa yang berperilaku buruk, memberikan dukungan mental dan emosional baik bagi siswa maupun guru. Sekolah juga harus memiliki sistem yang jelas mengenai penanganan masalah disiplin, di mana siswa dan orang tua memahami konsekuensi dari setiap tindakan yang tidak sesuai.

Guru perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola kelas dengan pendekatan yang lebih modern dan efektif. Mereka dapat memanfaatkan metode pengajaran yang lebih humanis dan komunikatif untuk menjaga kedisiplinan tanpa harus bersikap keras. Salah satu kunci keberhasilan adalah membangun hubungan yang kuat dengan siswa, di mana mereka merasa dihargai dan dipahami, namun tetap menyadari batasan dan aturan yang harus diikuti. Guru juga bisa memanfaatkan pendekatan berbasis dialog untuk menghadapi siswa yang bermasalah, dengan menekankan konsekuensi positif dan negatif dari tindakan mereka.

Orang tua juga memiliki peran penting dalam mendukung otoritas guru di sekolah. Mereka harus memahami bahwa disiplin adalah bagian dari proses pendidikan, dan bukan bentuk penindasan terhadap anak. Komunikasi antara orang tua dan guru harus ditingkatkan agar kedua belah pihak saling memahami peran masing-masing dalam mendidik anak. Orang tua sebaiknya tidak langsung bersikap defensif ketika anak mereka mendapatkan teguran atau hukuman dari guru, melainkan mencoba melihat masalah dari berbagai sudut pandang.

Siswa harus dididik sejak dini mengenai pentingnya sikap disiplin dan respek terhadap guru serta aturan di sekolah. Pendidikan karakter yang konsisten dan kolaboratif, baik di rumah maupun di sekolah, sangat penting dalam membentuk pribadi yang bertanggung jawab dan sadar akan konsekuensi dari setiap tindakan mereka. Siswa perlu diberikan pemahaman bahwa kebebasan yang diberikan oleh Kurikulum Merdeka tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang harus diimbangi dengan tanggung jawab.

Jadi, dilema yang dihadapi oleh para guru dalam konteks penerapan Kurikulum Merdeka dan UU Perlindungan Anak adalah masalah kompleks yang memerlukan pendekatan holistik. Guru perlu merasa didukung oleh sistem, tidak hanya untuk menjaga hak-hak siswa, tetapi juga untuk menegakkan wibawa dan otoritas mereka sebagai pendidik. Sinergi antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan siswa sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan seimbang. Dengan demikian, baik hak-hak anak maupun peran guru sebagai pendidik dapat dihormati, dan proses pendidikan dapat berjalan lebih efektif tanpa ketakutan berlebihan dari pihak mana pun. Semoga.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News