Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Pendidikan merupakan fondasi utama bagi pembangunan suatu bangsa. Di Indonesia, pendidikan memegang peranan krusial dalam mencetak generasi muda yang siap bersaing di tingkat global. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul sejumlah fenomena yang menandai darurat pendidikan di Indonesia. Salah satu yang mencuat dan menjadi sorotan publik adalah penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang membawa dampak signifikan terhadap arah kebijakan pendidikan nasional.
Sistem zonasi diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan sebagai upaya untuk memeratakan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas tanpa harus terbebani oleh jarak atau lokasi tempat tinggal. Dalam konteks ini, sekolah-sekolah diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang setara, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau prestasi akademik calon peserta didik.
Namun, penerapan zonasi justru memunculkan sejumlah persoalan baru. Bagi sebagian kalangan, sistem ini dinilai mengabaikan aspek meritokrasi atau prestasi akademik. Sebelum adanya zonasi, sekolah-sekolah favorit lebih mengutamakan nilai akademis sebagai syarat utama penerimaan siswa. Namun, dengan zonasi, prioritas kini diberikan kepada siswa yang berdomisili dekat dengan sekolah, terlepas dari nilai akademik mereka. Hal ini menyebabkan sejumlah sekolah, terutama yang berada di kawasan strategis, harus menerima siswa dengan prestasi yang beragam, termasuk mereka yang nilainya di bawah standar yang sebelumnya diterapkan.
Perubahan kebijakan ini tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga pada guru, kepala sekolah, hingga dinas pendidikan. Mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan bahwa kualitas pendidikan tidak lagi semata-mata dinilai dari prestasi akademik siswa, melainkan dari keberhasilan mencapai target formalitas nilai yang telah ditentukan oleh pemerintah. Fenomena ini memunculkan berbagai praktik manipulatif di lapangan, seperti upaya mendongkrak nilai siswa agar sekolah tetap terlihat berprestasi, meskipun kualitas pembelajaran sesungguhnya tidak meningkat.
Salah satu efek samping paling mencolok dari penerapan zonasi adalah terjebaknya sistem pendidikan kita dalam formalitas nilai. Dalam banyak kasus, nilai akademis siswa menjadi tujuan akhir yang harus dicapai, tanpa mempertimbangkan kemampuan riil atau pemahaman mendalam mereka terhadap materi pelajaran. Baik guru, kepala sekolah, bahkan hingga pejabat dinas pendidikan, seolah “diperbudak” oleh tuntutan untuk menghasilkan angka nilai yang bagus di atas kertas. Padahal, pada kenyataannya, nilai tersebut tidak selalu mencerminkan kompetensi atau keterampilan siswa yang sesungguhnya.
Ironisnya, tekanan untuk memenuhi standar nilai akademik yang tinggi ini bukan hanya datang dari pemerintah atau masyarakat, tetapi juga dari internal sekolah itu sendiri. Kepala sekolah, misalnya, merasa harus menjaga reputasi sekolah dengan cara memastikan semua siswanya lulus dengan nilai yang baik. Hal ini sering kali memicu guru untuk “melonggarkan” standar penilaian, atau bahkan terpaksa memberi nilai tinggi kepada siswa yang sebenarnya tidak layak mendapatkannya. Seiring waktu, praktik ini menjadi semacam “kebiasaan buruk” yang sulit dihentikan, dan pada akhirnya menurunkan integritas sistem pendidikan kita.
Anak-anak yang seharusnya dididik untuk memahami dan menguasai konsep, malah diajarkan untuk mengejar nilai semata. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi ujian dan tes, tanpa benar-benar dibekali dengan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, atau pemecahan masalah yang nyata. Akibatnya, lulusan-lulusan sekolah di Indonesia sering kali hanya unggul di atas kertas, tetapi tidak kompeten dalam dunia kerja atau dalam menghadapi tantangan global.
Guru, sebagai garda terdepan dalam sistem pendidikan, merasakan beban yang paling besar dari fenomena ini. Mereka diharuskan untuk mengajar sesuai dengan kurikulum yang ditentukan, sambil memastikan bahwa siswa-siswa mereka mendapatkan nilai yang baik. Sering kali, guru tidak diberi kebebasan untuk berinovasi dalam metode pengajaran, karena yang menjadi fokus utama adalah bagaimana memastikan siswa lulus ujian dengan nilai yang memadai. Inisiatif dan kreativitas guru dalam mengembangkan pembelajaran yang bermakna sering kali terbentur oleh tekanan untuk “memperbaiki” nilai siswa.
Tekanan ini juga berimbas pada moral dan etika profesi guru. Tidak jarang ditemukan kasus di mana guru merasa terpaksa harus memberikan nilai tambahan kepada siswa yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, hanya untuk menjaga citra sekolah atau demi memenuhi target kelulusan yang telah ditetapkan. Fenomena “dongkrak nilai” ini, meski terdengar mengerikan, sudah menjadi kenyataan pahit di dunia pendidikan kita.
Beban tidak hanya dirasakan oleh guru, tetapi juga oleh kepala sekolah dan dinas pendidikan. Mereka berada dalam posisi yang sulit, di mana mereka harus menyeimbangkan antara memenuhi target dari pemerintah dan menjaga kualitas pendidikan di sekolah mereka. Kepala sekolah sering kali harus mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada pencapaian nilai, meski sebenarnya mereka menyadari bahwa nilai tersebut tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang sebenarnya.
Dinas pendidikan di tingkat daerah pun tidak lepas dari tekanan. Mereka dituntut untuk memastikan bahwa semua sekolah di wilayah mereka mampu mencapai standar nasional, meski di sisi lain mereka menghadapi berbagai keterbatasan, seperti kurangnya sumber daya, minimnya pelatihan bagi guru, atau ketimpangan kualitas infrastruktur antara sekolah satu dengan yang lain. Dalam situasi ini, kepala dinas sering kali terjebak dalam dilema antara mengejar target formalitas dan memperbaiki kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Di tingkat nasional, Menteri Pendidikan memegang kendali dalam menentukan arah kebijakan pendidikan. Namun, sering kali kebijakan yang dikeluarkan di tingkat pusat tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Penerapan sistem zonasi, misalnya, yang bertujuan untuk meratakan kualitas pendidikan, justru menimbulkan ketimpangan baru di antara sekolah-sekolah. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan secara merata, zonasi malah memperlebar jurang kualitas antara sekolah-sekolah di pusat kota dengan yang berada di pinggiran.
Menteri Pendidikan juga menghadapi tantangan dalam memperbaiki sistem evaluasi pendidikan yang lebih substantif, bukan hanya sekadar formalitas nilai. Tantangan ini membutuhkan reformasi yang mendalam, termasuk mengubah paradigma seluruh pihak yang terlibat dalam pendidikan, mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, hingga orang tua untuk tidak lagi terobsesi pada nilai semata, melainkan pada kemampuan dan kompetensi nyata.
Indonesia berada dalam kondisi darurat pendidikan, di mana sistem zonasi dan formalitas nilai telah mengaburkan substansi pendidikan itu sendiri. Penting bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, pendidik, hingga masyarakat, untuk mengembalikan fokus pendidikan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan siswa, bukan sekadar angka di atas kertas. Reformasi pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan sistem yang adil, merata, dan berkualitas, di mana setiap siswa berhak mendapatkan pembelajaran yang bermakna dan relevan dengan tantangan zaman. Wallahualam.