Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Penundaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait gugatan yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) telah menimbulkan sejumlah spekulasi dan pertanyaan di masyarakat. Penundaan tersebut dikabarkan disebabkan oleh alasan kesehatan hakim, yang kemudian menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Penundaan ini dijadwalkan hingga 24 Oktober, empat hari setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Fakta ini memunculkan pertanyaan: apakah penundaan ini murni karena faktor medis, atau ada faktor lain yang mencurigakan, seperti dugaan rekayasa yang bertujuan untuk memperburuk supremasi hukum di Indonesia?
PDIP menggugat KPU ke PTUN terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024. PDIP, sebagai partai politik dengan sejarah panjang di Indonesia, memiliki dasar hukum dalam gugatannya bahwa pencalonan Gibran diduga melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya terkait syarat-syarat calon yang dianggap belum terpenuhi oleh Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo. Menurut PDIP, Gibran belum memenuhi syarat minimal usia dan pengalaman politik yang cukup, meskipun telah menjabat sebagai Wali Kota Surakarta sejak 2020.
PDIP menilai pencalonan Gibran sebagai cawapres berpotensi menjadi preseden buruk dalam demokrasi Indonesia, terutama dalam hal ketaatan terhadap hukum pemilu. Partai ini mengajukan gugatan sebagai langkah untuk mempertahankan integritas hukum dan konstitusi yang mengatur pemilu, agar tidak ada pihak yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan demi kepentingan politik semata.
Alasan kesehatan memang bisa diterima dalam konteks kemanusiaan. Hakim, sebagai manusia biasa, tentu bisa mengalami gangguan kesehatan yang menghambat tugas mereka. Namun, yang menjadi masalah adalah ketidakhadiran bukti medis yang konkret atau pernyataan resmi yang transparan mengenai kondisi kesehatan sang hakim. Dalam kasus-kasus seperti ini, ketiadaan bukti medis atau informasi yang lebih jelas seringkali menimbulkan spekulasi dan dugaan-dugaan yang dapat memperkeruh suasana.
Beberapa pihak mempertanyakan mengapa tidak ada surat keterangan dokter yang secara resmi dipublikasikan untuk memberikan keyakinan bahwa alasan sakit tersebut benar adanya. Tanpa adanya bukti kesehatan yang kuat, muncul asumsi bahwa alasan tersebut bisa saja merupakan dalih yang digunakan untuk menunda putusan demi kepentingan tertentu. Penundaan putusan hingga 24 Oktober, bagi sebagian masyarakat adalah agar pelantikan Gibran sebagai Wapres tetap berjalan. Jika ini benar maka semakin memunculkan tanda tanya mengenai urgensi dari penundaan ini.
Tidak bisa dipungkiri, dalam dinamika politik Indonesia, keputusan hukum kerap kali dispekulasikan memiliki muatan politik. Dalam konteks ini, penundaan putusan PTUN yang menyangkut pencalonan Gibran, yang notabene merupakan putra presiden, memicu dugaan adanya campur tangan politik. Beberapa pengamat politik berpendapat bahwa penundaan ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengulur waktu, memberikan ruang bagi KPU dan tim Gibran untuk mengantisipasi hasil putusan PTUN.
Dalam analisis yang lebih kritis, muncul dugaan bahwa penundaan ini adalah bagian dari rekayasa untuk melemahkan supremasi hukum di Indonesia. Supremasi hukum, yang seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan keputusan di negara demokrasi, tampaknya dipertaruhkan dalam kasus ini. Ketidaktransparanan dalam proses hukum dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum itu sendiri. Jika dugaan rekayasa ini benar adanya, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, di mana keputusan-keputusan hukum bisa ditunda atau diatur demi kepentingan politik tertentu.
Namun, tentu saja, dugaan-dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Di sisi lain, KPU dan pihak-pihak yang mendukung pencalonan Gibran berpendapat bahwa proses hukum harus tetap berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku, dan penundaan karena alasan kesehatan tidak semestinya dihubungkan dengan konspirasi politik. Mereka meminta publik untuk bersabar dan menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
Penundaan putusan PTUN ini tidak hanya berdampak pada memori atas dinamika politik yang mengikuti proses pencalonan Gibran tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia. Jika alasan sakit yang dikemukakan oleh pengadilan ternyata hanya merupakan alasan untuk menunda putusan yang seharusnya sudah dijatuhkan, maka hal ini dapat mencoreng wajah peradilan Indonesia. Supremasi hukum yang lemah akan membuka ruang bagi manipulasi hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama dalam konteks politik.
Indonesia telah lama menghadapi tantangan dalam penegakan hukum yang independen dan bebas dari intervensi politik. Kasus ini dapat menjadi salah satu contoh di mana supremasi hukum diuji, dan bagaimana lembaga-lembaga peradilan diharapkan mampu menunjukkan integritasnya dalam menangani kasus-kasus yang bersinggungan dengan politik.
Selain itu, dampak dari penundaan ini juga bisa memperkeruh situasi politik nasional pasca pilpres 2024. Penundaan yang terlalu lama bisa memunculkan ketidakpastian di kalangan partai politik, pemilih, dan masyarakat umum. Jika supremasi hukum tidak ditegakkan dengan baik, maka kepercayaan publik terhadap proses pemilu akan menurun dan apatisme, yang pada akhirnya akan merugikan demokrasi itu sendiri.
Penundaan putusan PTUN terkait gugatan PDIP terhadap KPU atas pencalonan Gibran sebagai cawapres memunculkan sejumlah pertanyaan besar di kalangan publik. Meskipun alasan resmi yang diberikan adalah karena hakim yang sakit, ketiadaan bukti atau keterangan medis yang jelas memicu dugaan adanya rekayasa dalam penundaan ini. Dalam konteks politik Indonesia yang dinamis, spekulasi tentang adanya campur tangan politik dalam kasus ini tidak bisa diabaikan.
Yang paling penting adalah bagaimana proses hukum ini berjalan secara transparan dan adil, agar supremasi hukum tetap terjaga di Indonesia. Jika dugaan adanya rekayasa ini benar, maka kasus ini dapat menjadi contoh buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam hal independensi lembaga peradilan. Di sisi lain, jika proses hukum ini memang murni tertunda karena alasan kesehatan, maka penting bagi pengadilan untuk memberikan informasi yang lebih terbuka agar tidak ada spekulasi yang berkembang liar di masyarakat.