Lembaga Zakat Amil (LAZ) baru harus mempunyai daya tarik orang untuk berdonasi dengan berbagai program yang menarik. Pertama kali berdonasi tidak harus dalam bentuk uang namun bisa memberikan dampak kepada masyarakat yang membutuhkan. Konsistensi berdonasi ini terus berlanjut dalam bentuk uang.
“Mengajak zakat dengan uang susah. Apa yang kira-kiri orang memiliki dan bisa diajak bersedekah. Yang dimiliki orang itu sampah. Pertama kali ubah sampah menjadi sedekah,” kata Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub, Suhito dalam acara yang diselenggarakan Akademizi, Rabu (2/10/2024).
Donatur sampah ini akan menjadi cikal bakal yang konsisten dalam memberikan bantuan termasuk uang. “Kami memikirkan bagaimana cita-cita lembaga ini mempunyai program dan berkelanjutan. Maka kami mempunyai program sedekah jelantah,” paparnya.
Mungkin ada sebagian yang meremehkan program ini. Tetapi tidak bagi Suhito. Sebab menurutnya, di Jakarta Selatan saja bisa terhimpun 12 ton minyak jelantah dalam satu bulan. Itupun belum semua orang tahu program ini.
“Potensi minyak jelantah itu 200 ton per bulan di Jakarta,” kata Suhito.
Minyak jelantah yang terkumpulkan bakal dikonversikan menjadi uang. Dana yang didapat dibagi untuk pengelola rumah ibadah dan dikelola Rumah Sosial Kutub untuk disalurkan kembali ke masyarakat di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, sosial, hingga untuk yatim dan duafa.
“Konsepnya masyarakat tidak menjual, tapi bersedekah dengan minyak jelantah. Minyak jelantah lalu kami kirim ke pabrik sebagai bahan baku biodiesel,” kata Suhito
Rumah Sosial Kutub, kata Suhito, tidak hanya mengumpulkan sedekah minyak jelantah di Ibu Kota. Tetapi juga sudah masuk ke Cirebon, bahkan sampai Tegal, Jawa Tengah.
Selain itu, Suhito mengungkapkan Rumah Sosial Kutub mempunyai program Petani Milenial Tersenyum karena ketahanan pangan sangat penting. Program ini mengurangi pengangguran dari SMK Pertanian. “Setiap tahun 50 siswa SMK Pertanian magang. Mereka ini menjadi petani milenial yang sumber dananya dari BUMDES,” paparnya.
CEO Sinergi Foundation Asep Irawan mengungkapkan perlu perjuangan ekstra untuk mengenalkan wakaf kepada masyarakat. Berbeda dengan zakat, yang gaungnya sudah lama terdengar di Indonesia.
“Bicara wakaf itu sifatnya enggak momentum Ramadhan saja, dia sifatnya flat, antara ramadhan dan bulan biasa sama saja, tergantung program yang digagas oleh si nazir. Beda dengan ZIS. Lembaga-lembaga itu jadi ‘panen’ bisa meningkat ribuan persen, karena masyarakat merasa kewajiban bayar zakat hanya di bulan Ramadhan atau nisab dan haulnya ada di Ramadhan,” terang dia.
Asep mengungkapkan bahwa tidak mudah bagi Sinergi Foundation untuk menggaet pengusaha yang ingin berwakaf. Ada kriteria khusus yang harus dipenuhi pengusaha dalam mengelola wakaf produktif ini.
“Tidak tidak semata-mata hanya menjadi pengusaha, tidak seperti itu. (tapi) pengusaha yang maqomnya beda, pengusaha muslim yang memiliki mindset Nazir, pengusaha muslim yang punya berwawasan Nazir, yaitu dia mau menyedekahkann keahliannya, ilmunya, kemampuan dalam mengelola bisnisnya untuk mengembangkan dana umat itu,” terang dia.
“Jadi kita menyadari betul bahwa insan Nazir awalnya basic-nya orang sosial, bukan pengusaha, bukan pebisnis. Sedangkan dalam mengelola aset umat berbasis wakaf produktif ini, harus dikelola orang yang punya kapasitas, kapabilitas, kemampuan punya keahlian tanggung jawab amanah,” jelas dia.