Ironi Hari Batik Nasional di Kota Batik Pekalongan: Antara Warisan Budaya dan Limbah yang Menggila

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Setiap tanggal 2 Oktober, Indonesia merayakan Hari Batik Nasional sebagai penghormatan terhadap salah satu warisan budaya bangsa yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Batik telah menjadi identitas bangsa yang bukan hanya dipakai oleh orang Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat internasional. Di antara banyak kota di Indonesia yang terkenal dengan batiknya, Pekalongan adalah salah satu yang paling menonjol. Kota kecil di pesisir utara Jawa ini bahkan dijuluki sebagai “Kota Batik” karena peran sentralnya dalam industri batik nasional. Namun, ironisnya, di balik gemerlap batik yang kerap dipamerkan pada berbagai acara resmi, Pekalongan menghadapi masalah besar: limbah industri batik yang tak terkendali.

Batik Pekalongan terkenal dengan motif-motif khasnya yang kaya akan warna dan detail. Proses pembuatan batik, terutama batik cap dan batik tulis, melibatkan penggunaan berbagai bahan kimia seperti pewarna sintetis, soda api, dan lilin malam. Bahan-bahan ini kemudian bercampur dalam air limbah yang dialirkan ke sungai-sungai di sekitar kota, termasuk Sungai Loji dan Sungai Banger, yang mengalir melintasi berbagai wilayah Pekalongan.

Masalahnya, limbah tersebut tidak sepenuhnya diolah sebelum dibuang. Pewarna sintetis yang digunakan dalam proses produksi, misalnya, tidak mudah terurai secara alami. Akibatnya, air sungai yang dulunya jernih kini berubah warna menjadi hitam pekat. Warna ini menjadi simbol jelas dari pencemaran yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, seolah mencerminkan ironi di balik kemajuan industri batik yang menjadi kebanggaan kota.

Salah satu pemandangan yang menyedihkan di Pekalongan adalah bagaimana pemerintah kota pekalongan mencoba menangani masalah limbah ini. Alih-alih mencari solusi jangka panjang yang menyeluruh, salah satu pendekatan yang diambil adalah dengan menutupi permukaan sungai yang tercemar oleh limbah dengan tanaman eceng gondok. Tanaman air ini memang memiliki kemampuan untuk menyerap beberapa polutan dari air, tetapi efeknya sangat terbatas, terutama jika volume pencemaran sangat besar.

Eceng gondok hanyalah solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah. Penutupannya terhadap air sungai yang hitam pekat lebih menyerupai tindakan kosmetik daripada penanganan lingkungan yang serius. Sungai-sungai yang tertutup eceng gondok mungkin terlihat lebih hijau di permukaan, namun di bawahnya, air tetap tercemar berat oleh bahan kimia dari limbah batik.

Lebih parahnya lagi, eceng gondok bisa tumbuh dengan cepat dan tak terkendali, yang pada akhirnya malah menjadi masalah tersendiri. Tanaman ini dapat menyumbat aliran air dan memperparah banjir yang sudah menjadi masalah rutin di Pekalongan, terutama saat musim hujan. Ironisnya, ketika batik dipuji-puji sebagai warisan budaya yang lestari, sungai-sungai di Pekalongan justru menjadi saksi bisu dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industri ini.

Pencemaran sungai oleh limbah batik ini berdampak langsung pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Air sungai yang tercemar mengandung logam berat dan bahan kimia beracun yang berbahaya bagi ekosistem sungai. Ikan-ikan yang dulu melimpah di sungai-sungai Pekalongan kini hilang, tak mampu bertahan hidup di perairan yang tercemar. Hal ini mengganggu mata pencaharian warga yang bergantung pada sungai untuk memancing dan bertani.

Tidak hanya ekosistem, kesehatan masyarakat juga terancam. Warga yang tinggal di sekitar sungai berisiko terpapar polutan berbahaya. Air sumur yang terkontaminasi oleh limbah ini bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari iritasi kulit hingga gangguan pernapasan. Dalam jangka panjang, paparan bahan kimia beracun bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker.

Di sisi lain, bau menyengat yang dihasilkan oleh limbah batik juga menjadi masalah sehari-hari bagi warga Pekalongan. Banyak yang mengeluhkan bahwa udara di sekitar sungai tak lagi segar, terutama pada musim kemarau ketika aliran air berkurang dan limbah mengendap di dasar sungai. Kondisi ini menambah deretan ironi yang menimpa Kota Batik Pekalongan.

Sejauh ini, upaya pemerintah untuk mengatasi pencemaran limbah batik di Pekalongan masih jauh dari memadai. Beberapa langkah memang telah diambil, seperti pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di beberapa sentra industri batik. Namun, kapasitas IPAL ini sering kali tidak cukup untuk menampung seluruh limbah yang dihasilkan oleh industri batik yang terus berkembang pesat. Selain itu, kesadaran para pengusaha batik untuk mematuhi aturan pengelolaan limbah juga masih rendah. Banyak yang lebih memilih membuang limbahnya langsung ke sungai daripada mengeluarkan biaya tambahan untuk pengolahan limbah.

Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum juga memperparah situasi. Meski sudah ada peraturan mengenai pengelolaan limbah industri, implementasinya sering kali tidak konsisten. Pemerintah daerah seolah menutup mata terhadap praktik pembuangan limbah yang sembarangan, mungkin karena takut mengganggu sektor industri batik yang menjadi andalan ekonomi Pekalongan.

Masalah pencemaran limbah batik di Pekalongan sebenarnya mencerminkan dilema yang dihadapi banyak daerah di Indonesia: bagaimana menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Batik, sebagai industri kreatif dan warisan budaya, jelas sangat penting bagi perekonomian Pekalongan. Ribuan warga bergantung pada industri ini untuk mencari nafkah. Namun, jika tidak ada langkah serius untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri ini, dampak negatif jangka panjangnya bisa jauh lebih besar.

Salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan adalah mempromosikan penggunaan pewarna alami dalam produksi batik. Pewarna alami yang terbuat dari tumbuhan tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan nilai jual batik sebagai produk yang berkelanjutan. Selain itu, pengusaha batik perlu diberikan insentif untuk berinvestasi dalam teknologi pengolahan limbah yang lebih efisien. Dengan demikian, mereka tidak hanya bisa menghasilkan batik yang indah, tetapi juga melakukannya tanpa merusak lingkungan.

Pada akhirnya, Hari Batik Nasional di Pekalongan seharusnya bukan hanya menjadi ajang perayaan budaya, tetapi juga momen refleksi untuk mencari solusi atas masalah pencemaran lingkungan yang sudah terlalu lama diabaikan. Batik memang warisan budaya yang harus dilestarikan, tetapi bumi tempat kita hidup juga perlu dijaga kelestariannya. Semoga, di masa depan, Kota Batik Pekalongan bisa dikenal bukan hanya karena keindahan batiknya, tetapi juga karena keberhasilannya menjaga lingkungan dari ancaman limbah industri yang mengancam. Wallahualam