Mulai Berlaku 2025, Bangun Rumah Sendiri Kena Pajak 2,4%

Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12%: Kasihan Kelas Menengah

Sebelumnya, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menyatakan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 diperkirakan akan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian Indonesia.

“Jika kita pertimbangkan skenario di mana tarif PPN naik menjadi 12,5 persen, maka dampaknya adalah perekonomian akan mengalami kontraksi,” ujar Esther dalam Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9/2024).

Menurut Esther, kenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif pada berbagai aspek ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil, ekspor, impor, dan konsumsi masyarakat.

“Dampaknya adalah penurunan upah nominal, sehingga income riil juga turun. Inflasi IHK diperkirakan akan mengalami kontraksi menjadi minus, pertumbuhan GDP akan turun, konsumsi masyarakat menurun, serta ekspor dan impor juga akan terpengaruh,” jelasnya.

Berdasarkan perhitungan INDEF, jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12,5 persen, dampak yang diperkirakan adalah: penurunan upah nominal sebesar 5,86 persen, inflasi IHK minus 0,84 persen, pertumbuhan GDP minus 0,11 persen, konsumsi masyarakat turun 3,32 persen, ekspor minus 0,14 persen, dan impor turun 7,02 persen.

“Ini adalah proyeksi jika tarif PPN naik menjadi 12,5 persen. Namun, pada pemerintahan Presiden terpilih Prabowo, tarif PPN rencananya akan dinaikkan menjadi 12 persen pada Januari 2025, sehingga angkanya diperkirakan akan mendekati nilai-nilai tersebut,” tambahnya.

Esther menegaskan bahwa jika skenario kenaikan tarif PPN ini diterapkan, pendapatan masyarakat akan menurun, yang akan berdampak pada baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan.

“Jadi, dampak ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga oleh masyarakat pedesaan. Ini adalah hasil hitungan INDEF berdasarkan skenario kenaikan tarif PPN menjadi 12,5 persen,” tutupnya.