Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Di tengah badai permasalahan yang belum terselesaikan terkait kasus gagal bayar BMT Mitra Umat Pekalongan, langkah Walikota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid/ Aaf yang mendaftarkan diri sebagai calon walikota bersama Bilqis Diab sebagai calon wakil walikota di pilwalkot Pekalongan tahun 2024 memicu reaksi keras dari masyarakat. Aaf yang merupakan incumbent, dinilai tidak menunjukkan kepedulian terhadap ribuan warga Kota Pekalongan yang menjadi korban dari skandal penipuan koperasi ini. Aaf justru melangkah maju untuk kembali memperebutkan kursi walikota, seolah tidak peduli dengan penderitaan yang dialami oleh warganya.
Ribuan warga Kota Pekalongan yang menjadi korban BMT Mitra Umat telah lama menanti kejelasan nasib mereka. Mediasi tanggal 27 Juni 2024 yang dilakukan Aaf hanyalah pepesan kosong semata, menguap tanpa tindak lanjut yang semestinya. Hingga kini, kasus ini masih jauh dari kata selesai. BMT Mitra Umat dalam mediasi tersebut menjanjikan kepada walikota Pekalongan akan mengajukan permohonan lelang dalam bulan Juli 2024.
Tapi hingga tulisan ini di buat, janji itu hanyalah bualan saja. Tidak ada lelang atas nama BMT Mitra Umat Pekalongan dari KPKNL Pekakongan.
Ini adalah kesekian kali pengurus BMT Mitra Umat memberikan janji-janji kepada para nasabah dan pihak pemerintah Kota Pekalongan. Janji-janji kosong yang tidak ada tindak lanjut yang nyata. Para nasabah merasa kecewa karena janji yang diharapkan menjadi solusi hanya berakhir sebagai kata-kata kosong, hingga kini pencairan uang nasabah juga belum dilakukan oleh BMT Mitra Umat
Walikota Pekalongan, yang diharapkan mampu memberikan dorongan atau intervensi pasca mediasi tampaknya memilih untuk berdiam diri. Ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, terutama para korban yang merasa ditelantarkan. Mengapa Walikota diam saja? Apakah ada faktor lain yang membuat walikota seolah-olah tidak berdaya dalam menghadapi situasi ini?
Ketidakmampuan atau ketidakmauan pemerintah kota melalui walikota untuk bertindak, memberikan kesan bahwa para korban yang sebagian besar warga kota Pekalongan seperti dibiarkan untuk berjuang sendiri menghadapi ketidakadilan akibat kekejian pengurus BMT Mitra Umat. Ini adalah refleksi buruk bagi kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan berbasis koperasi dan pemerintah kota yang seharusnya melindungi mereka.
Ketidakmampuan Aaf untuk mengatasi permasalahan ini menimbulkan keraguan besar di kalangan masyarakat tentang kemampuannya dalam memimpin Kota Pekalongan di masa mendatang. Jika masalah lingkup BMT saja tidak bisa ia tangani dengan baik, bagaimana mungkin ia mampu menangani masalah yang lebih kompleks yang dihadapi Kota Pekalongan nantinya? Padahal wewenang walikota dalam kasus seperti gagal bayar BMT Mitra Umat ini bisa mencakup beberapa aspek.
Walikota dapat berperan aktif untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti kementerian koperasi, dinas koperasi, lembaga hukum, tokoh masyarakat dan para korban untuk memberikan dukungan dan saran sebagai upaya penyelesaian masalah dan memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam mencari solusi. Jika masalah gagal bayar berimbas besar pada masyarakat, walikota memiliki wewenang untuk mengintervensi dengan memberikan arahan atau tekanan pada lembaga terkait untuk mengambil tindakan, meskipun tidak memiliki wewenang langsung dalam urusan internal BMT, walikota dapat mendorong Dinas Koperasi dan lembaga lain untuk bertindak lebih cepat. Walikota juga memiliki wewenang dalam merumuskan atau mendukung kebijakan lokal yang dapat mencegah masalah serupa di masa depan, seperti peraturan atau inisiatif yang meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga keuangan mikro di daerahnya, meskipun walikota tidak memiliki wewenang langsung atas lembaga keuangan mikro, tapi walikota dapat memastikan bahwa peraturan dan kebijakan yang ada bisa diterapkan dengan efektif di wilayahnya, termasuk koordinasi dengan lembaga yang bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, walikota sejatinya dapat memainkan peran kunci dalam memfasilitasi penyelesaian masalah dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan meningkatkan sistem pengawasan. Dan semua langah langkah ini sangat tergantung dari political will walikota. Butuh kepedulian dan keberanian serta sense of crisis yang kuat.
Langkah Aaf untuk tetap maju dalam pemilihan walikota, di tengah ketidakpuasan dan kekecewaan yang dirasakan oleh para korban BMT Mitra Umat, menunjukkan ketidakpekaannya terhadap kondisi nyata di lapangan. Banyak korban yang merasa bahwa Aaf telah mengabaikan tanggung jawabnya, memilih untuk mengejar ambisi politik daripada berfokus pada penyelesaian masalah yang telah membuat ribuan warganya terpuruk.
Untuk itu, dalam suasana yang penuh ketidakpastian ini, masyarakat Kota Pekalongan diharapkan untuk lebih cermat lagi dalam memilih pemimpinnya nanti. Rekam jejak Aaf sebagai incumbent harus menjadi pertimbangan serius, karena pemimpin yang baik seharusnya mampu menyelesaikan masalah yang ada sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Ketidakmampuan menangani masalah BMT Mitra Umat menjadi cerminan dari potensi ketidakmampuan Aaf dalam menghadapi tantangan Kota Pekalongan yang lebih besar di masa depan.
Wallahualam.