Ketua Tanfidziyah MWCNU Rejotangan Tulungagung KH Drs H. Hardiyono Ichsan, M. Ag mencopot foto Habib Luthfi sebagai bentuk protes atas pembelokan sejarah yang dilakukan anggota Wantimpres tersebut.
“Ini ada seorang Muhibbin Habib Luthfi beliaunya adalah kebetulan ketua MWCNU Rejotangan Kabupaten Tulungagung KH Drs H. Hardiyono Ichsan, M. Ag memasang foto Habib Lutfi bersama para Masyaikh Nahdlatul Ulama kemudian karena diketahui bahwa Habib Luthfi adalah seorang yang bisa dikatakan sebagai pemalsu sejarah bangsa pemalsu sejarah NU pemalsu makam maka beliau-beliau ini dengan senang hati mencopot gambar foto dari Habib Luthfi,” ungkap dalam video yang beredar.
Kiai Hardiyono Ichsan menyatakan keluar dari Muhibbin Habib Luthfi karena kelakuan Rais Aam Jatman yang membelokkan sejarah berdirinya NU. “Bagaimana beliau-beliau ini mencopot dan menghilangkan Habib Luthfi di bawah para Masyaikh Nahdatul Ulama,” tegasnya.
Buku Pelajaran Ahlussunnah Waljamaah Ke-NU-an Jilid I untuk Kelas 2 yang diterbitkan oleh RMI PCNU Kabupaten Tegal yang juga beredar di lingkungan satuan-satuan Pendidikan Ma’arif NUmenyatakan bahwa salah satu pendiri NU adalah Kakek dari Habib Lutfhi bin Yahya Pekalongan, Yaitu Habib Hasyim bin Yahya.
Pemerhati sejarah NU yang juga anggota Tim Kerja Museum NU, Riadi Ngasiran, menjelaskan mengutip Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), didapati fakta bahwa tidak menyebutkan nama Habib Hasyim bin Yahya sebagai salah satu pendiri NU.
Dia menyebutkan, memang ada satu tokoh yang meskipun tidak disebut resmi dalam statuten pendirian NU, 31 Januari 1926, tapi justru menjadi Inspirator berdirinya NU yaitu Syekhona Muhammad Kholil Al-Bankalany.
“Kisah-kisah awal pendirinya NU, sebagai asbabul wurudnya, tak lepas dari Ulama Pesantren yg menjadi guru para Kiai pada zaman itu,” kata dia,
Dia menilai, pernyataan Habib Luthfi tersebut adalah klaim sepihak. “Ya klaim sepihak tidak bisa dijadikan pijakan sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah adalah fakta, bukan dongeng. Kalau ada sumber lisan, itu pun harus diverifikasi usianya sezaman atau tdak,” ujar dia.
“KH As’ad Syamsul Arifin menjadi sumber lisan, tetapi usianya sezaman dengan muassis NU. Apalagi, pelaku langsung yang terlibat dalam proses awal berdirinya NU,” papar dia.
Riadi menjelaskan frase “tidak mau ditulis” dalam pernyataan buku tersebut juga dipertanyakan. Jika kalimat itu langsung disampaikan pelaku bisa dipahami. Misalnya, KH Masykur, Pimpinan Tertinggi Markas Barisan Sabilillah di Malang pada zaman Revolusi.
Setelah merdeka, beliau tidak mau ditulis, setidaknya tidak menonjolkan diri sehingga, semasa hidup beliau hanya ingin adanya masjid yang berdiri sebagai bentuk penghormatannya.
“Maka berdirilah Masjid Sabilillah di Kota Malang. Sesudah itu, selepas wafat beliau baru kita gali jejak perjuangannya. Sehingga, KH Masykur dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional,” tutur dia.
Riadi menekankan, tetapi di luar itu, seperti yang sering disebutkan Habib Luthfi bin Yahya, bahwa kakeknya berperan atas berdirinya NU, perlu dikaji lebih dalam dengan bukti-bukti primer.
Misalnya, apakah ada nama tersebut pada dokumen rapat, berita surat kabar sezaman, dan risalah atau memoar tokoh sezaman. “Bila semua sumber, baik primer maupun sekunder, tidak ada bisa dikatakan bahwa hal itu belum bisa dikategorikan sebagai Kebenaran sejarah,” ujar dia.