Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Menjelang Pilpres Airlangga Hartarto sudah dalam pengawasan kartel politik Jokowi untuk ditumbangkan. Keadaan mereda setelah Gihran bisa masuk markas DPP Partai Golkar.
Sejak Agustus kekuatan kartel politik Jokowi kembali menyergap Airlangga menggerakkan badut Bahlil Lahadalia dan Agus Gumiwang Kartasasmita dengan agenda mencari tempat untuk Gibran, kembali bergerilya mempercepat pengunduran Airlangga Hartarto mundur sebagai Ketum Golkar.
Ini bukan peristiwa mengagetkan hanya ini perilaku dungu dan tolol dari segerombolan budak politik atas perintah Bos Besar yang sedang menguasai Indonesia.
Rasanya mundurnya Airlangga tidak perlu jadi tebakan politik yang berputar kesana kemari tanpa bantuan dukun sudah bisa di pahami bahwa target bergerilya Munaslub harus bisa dilaksanakan sebelum Jokowi lengser, untuk memperlancar agenda putra mahkotanya.
Kartel politik dengan kekuatan finansial yang sangat besar memiliki kekuatan dan kemampuan menjebol benteng politik sekuat apapun akan rontok.
Kartel politik dilengkapi dengan kekuatan intelijen dan perangkat hukum sangat mudah menciptakan jebakan maut bagi siapapun sasarannya untuk menyerah sesuai target waktunya.
Airlangga Hartarto makin terpojok dan jebol setelah Kejaksaan Agung dimainkan keluarkan surat panggilan sebagai saksi kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah ahir pekan lalu. Surat panggilan itu yang diduga membuat Airlangga ciut nyalinya terpaksa mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar.
Mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar, adalah modus pengambilalihan kekuasaan. Sama sekali bukan dilatarbelakangi oleh adanya konflik internal Golkar
Masalahnya menjadi sangat sederhana, hanya caranya sangat kotor dan menjijikan Golkar akan dijadikan buffer politik Gibran.
Jokowi selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, untuk memenuhi hasrat kekuasaan semata. Ini adalah visualisasi dan potret kekuasaan politik barbar dan binal saat ini.
Modus politik penyanderaan hukum dijadikan alat efektif untuk melengserkan Airlangga dari kursi Ketua Umum Golkar. Ini salah Erlangga sendiri masuk pada jebakan politik kartel Jokowi.
Hampir sama dengan kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari dipecat, setelah menolak mempercepat waktu pilkada. Harus menyerah dengan kekuatan hukum sebagai palu godamnya
Hampir semua Ketum Parpol saat ini adalah pesakitan dari kartel politik dengan posisinya sebagai koruptor. Akan bertekuk lutut di hadapan penguasa. Politik penyanderaan merupakan fenomena politik yang memiliki implikasi buruk terhadap pembangunan demokrasi akibat petinggi parpol yang bermental koruptor.
Semua Ketum Parpol yang sudah masuk dalam bejana jebakan politik kartel Jokowi sudah seperti bebek lumpuh. Kapan saja bisa di cincang menjadi santapan penguasa.
Golkar rusak parah kendalikan anak anak muda buta sejarah arah dan tujuan berdirinya Golkar. Di tubuh Golkar masih tersisa tokoh lama yang sangat paham sejarah kemana Golkar harus berlayar, mengembalikan kompas jalannya Golkar.
GOLKAR harus segera keluar dan bersihkan Golkar dari antek antek kartel politik Jokowi. (*)