Oleh: Ahmad Basri, Ketua K3PP Tubaba
Pilkada serempak ( Gubenur – Bupati – Walikota ) puncaknya akan jatuh pada tanggal 27 Oktober 2024. Sebuah pesta demokrasi yang sangat besar untuk menentukan siapa calon pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat untuk memimpin masa bakti periode 2025 – 2029. Dikatakan pesta demokrasi yang sangat besar tidak lain karna diakan diikuti oleh 34 Provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan perincian 416 kabupaten sedangkan 98 kota.
Tentu saja ini merupakan hajat demokrasi yang tidak hanya dominan dari penyelenggara Komisi Pemilihan Umum / KPU semata, didalamnya ada berbagai unsur baik seperti, Bawaslu, Kemendagri dan Aparat Keamanan ( TNI – Polri ). Kesuksesan pilkada serempak menjadi tanggung jawab kita bersama.
Hajat pemilu – pilkada pada hakekatnya merupakan refleksi azas demokrsi yang paling fundamental dalam sistem politik ketatanegaraan dalam negara untuk memilih pemimpin secara langsung dimana rakyat atau suara rakyat yang menentukan.
Paham demokrasi sederhananya memberikan tempat dan ruang dimana pemerintahan dibentuk karena ada proses mandat dari rakyat, semuanya dimanepestasikan dalam bentuk politik perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Dalam konsep tersebut lahirlah berbagai macam partai politik / parpol – politik multi partai, dengan berbagai macam aliran pemikiran kebangsaan, motif tujuan untuk melakukan proses atau menampung aspirasi publik guna melahirkan calon pemimpin dalam sistem birokrasi pemerintahan.
Artinya, bahwa partai politik sebagai mata telinga hati perasaan rakyat harus terbuka luas apa yang sesungguhnya diinginkan oleh rakyat. Pemimpin atau tipelogi calon pemimpin seperti apa yang diinginkan oleh rakyat. Partai politik harus mampu menjawab aspirasi rakyat keinginan rakyat. Itulah hakekatnya keberadaan partai politik itu hadir dalam sistem negara yang menganut azaz demokrasi.
Teori demokrasi menempatkan rakyat pemegang – pemiliki mandat kekuasaan tertinggi bukan partai politik yang berkuasa untuk menentukan secara obsolut. Namun dalam prakteknya teori demokrasi masih sebatas “ angan angan “ dimana parti politik masih cenderung mengabaikan suara aspirasi rakyat. Elit partai politik seolah – olah “ raja “ yang keputusannya menjadi perintah yang harus diikuti tanpa boleh bertanya mengapa. Itulah mengapa banyak rakyat kecewa, marah, meningglkan atau keluar dari partai politik karena partai politik bergerak bukan dari suara arus bawah namun cenderung elitisme. Partai politik cenderung bergerak seperti roda mesin bisnis yang fokus bermotif keuntungan ekonomi semata.
Fenomena politik pilkada 2024 lahirnya calon tunggal atau kotak kosong sepertinya menjadi “ jamur “ bak dimusim hujan. Tentu ini menimbulkan beragam pertanyaan skeptis mengapa sistem politik multi partai yang seharusnya menciptakan banyak pilihan calon berbalik arah tidak mampu menyajikan banyak calon. Lahirnya skeptisme ditengah masyarakat yang cenderung negatif terhadap partai politik dengan munculnya calon tunggal – kotak kosong setidaknya mempertegas bahwa fungsi dan tugas kehadiran partai politik telah gagal ditengan masyarakat.
Publik – masyarakat diberi pilihan yang tidak mendidik dengan lahirnya calon tunggal – kotak kosong. Tidak ada nilai – nilai education yang bisa diambil dalam rahim lahirnya calon tunggal – kotak kosong kecuali politik pembodohan. Setidaknya patut dicurigai pula bahwa lahirnya calon tunggal – kotak kosong sebagai bentuk pembuangan suara aspiratif rakyat kedalam tong keranjang sampah.
Pilkada yang seharus menyajikan banyak pilihan calon dengan lahirnya calon tunggal – kotak kosong menjadikan kehidupan politik atau nilai – nilai demokrasi menjadi beku dan mati.
Demokrasi – partai politik menjadi seperti benda purbakala – dinasourus yang hidup dalam ruang hampa tidak memilik roh aspiratif bagi rakyat untuk menyalurkan pilihannya dengan bebas. Ada motif yang tersembunyi lahirnya calon tunggal – kotak kosong dari partai politik yang mengusungnya. Mereka – partai politik tidak lagi memikirkan bahayanya lahirnya calon tunggal – kotak kosong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam proses bangunan kekuasaan kelak menjadi pemimpin.
Disatu sisi lahirnya calon tunggal – kotak kosong bentuk dari belum adanya regulasi politik yang jelas mengaturnya khususnya terhadap partai politik peserta pemilu. Setidaknya harus ada regulasi politik bahwa syarat pengusungan calon tidak semata – mata pada batas minimal perolehan dua puluh persen dari jumlah kursi yang ada di legislatif DPRD. Namun harus ada regulasi politik bahwa calon yang sudan mendapatkan dukungan dua puluh persen dari partai politik ( kursi legislatif ) tidak diperkenankan lagi untuk mencari dukungan dari partai politik.
Jika regulasi politik ada tentu tidak akan tercipta lahirnya calon tunggal kotak kosong dan tidak mungkin terjadi. Maka akan lahir banyak calon dalam pilkada. Setidaknya KPU (PKPU Nomor 8 Tahun 2024 ) untuk pilkada yang akan 2029 datang dapat ditinjau kembali direvisi. Sebab ada ruang yang melahirkan kotak kosong – calon tunggal sehingga calon yang memiliki “ modal gizi yang besar “ akan merebut meloby partai politik yang ada agar memberikan dukungannya. Mereka atau calon yang dianggap kurang “ modal “ walaupun elaktabilitas tinggi disukai oleh rakyat diprediksi bisa menang akan tersingkir tereleminasi.
Walaupun fenomena calon tunggal dalam pilkada 2024 ini menjadi budaya politik yang terus meningkat jumlahnya ditanah air dan menjadi sebuah keprihatinan kita semua khusus para penggiat demokrasi. Setidaknya masih ada harapan bahwa aspirasi partisipasi hak pilih rakyat masih tersedia untuk menentukan pilihannya dan ada ruang yang tersedia untuk menentukan pilihannya. Munculnya calon tunggal dalam pilkada bukan berarti sebuah garansi politik secara otomatis dalam pemilihan akan pasti menang dan terpilih.
Dalam kasus pilkada Wali Kota Makassar tahun 2018 dimana kotak kosong pada akhirnya mampu mengungguli calon tunggal pasangan App – Cicu. Tentu ini memberikan bukti petunjuk bahwa calon tunggal bukanlah sebuah “ kehebatan “ yang tidak bisa dirobohkan diruntuhkan oleh suara rakyat kekuatan rakyat. Kemenangan kotak kosong apa yang terjadi dalam pilkada Wali Kota Makassar 2018 akan menjadi roh semangat kekuatan rakyat dalam perjuangan selanjutnya di daerah dalam pilkada 2024 yang ada calon tunggalnya. Ini menjadi simbol perlawanan rakyat.
Akan tetapi kemenangan kotak kosong lawan calon tunggal yang terjadi dalam pilkada Wali Kota Makassar 2018 tidak bisa dipahami bentuk hanya kerja – kerja politik biasa. Akan tetapi bentuk dari kerja keras yang luar biasa dari seluruh elemen masyarakat kota Makasar betapa pentingnya memenangkan kotak kosong. Memenangkan kotak kosong adalah menyelamatkan kehidupan demokrasi pesan itu yang sesungguhnya yang tertanam luas ditengah masyarakat.
Dibalik itu semua lahirnya organ – organ elemen ditengah masyarakat “ RELAWAN “ yang terus bergerak membangun ruang komunikasi yang efektif memenangkan kotak kosong adalah bukti nyata bahwa kekuatan relawan adalah kata kuncinya. Relawan kotak kosong “ coblos kotak kosong “ setidaknya menjadi garda terdepan dengan terus menerus mengawal proses pemilihan dari hingga akhir penghitungan suara.
Hemat penulis pilkada 2024 perlawanan terhadap calon tunggal dan menangkan kotak kosong coblos kotak kosong akan menjadi magnet politik yang tumbuh ditengah masyarakat. Akan lahir perlawanan rakyat dengan lahirnya para relawan dimana – mana. Tidak hanya ditempat penulis tinggal di Tubaba Lampung yang diprediksi akan lahir calon tunggal melawan kotak kosong.
Apa yang terjadi di Kota Makassar pemilihan Wali Kota 2018 yang dimenangkan oleh kotak kosong “ Coblos Kotak Kosong “ bisa menjadi kenyataan di pilkada Tubaba 2024 dengan slogan menangkan kotak kosong – coblos kotak kosong. Artinya kita tak perlu pesimis bahwa calon tunggal tidak bisa dikalahkan. Bisa dikalahkan !!!