Habib Luthfi tak Minta Maaf Belokkan Sejarah Berdirinya NU, Santri Mbah Wahab akan Lakukan Langkah Hukum

Ulama kharismatik Habib Luthfi bin Yahya akan dilaporkan ke aparat penegak hukum jika tidak meminta maaf atas pernyataannya yang membelokkan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)

“Saya sebagai santri Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang saya pastikan itu adalah palsu fiktif dan itu tidak benar kalau tidak segera minta maaf ya saya sebagai santrinya Mbah Wahab iakan melakukan langkah-langkah hukum demi untuk meluruskan sejarah supaya generasi Nahdatul Ulama dan bangsa Indonesia,” kata Santri Mbah Wahab Chasbullah, Kang Sholihin dalam video di Channel YouTube Padasuka TV, Rabu (31/7/2024).

Langkah hukum ini dilakukan, kata Kang Sholihin agar generasi NU tidak disuguhi sejarah berdirinya NU yang salah.

“Tidak disuguhi oleh sejarah yang salah dan sesat sangat melukai sangat melukai generasi Nahdatul Ulama yang melihat sejarah perjuangan para ulama para kiainya dan apalagi saya mah sebagai santrinya Mbah Wahab langsung saya santri Bahrul Ulum tampak beras Jombang,” tegasnya

Kang Sholihin merasakan sakit hati ketika ada pembelokan sejarah berdirinya NU oleh Habib Luthfi. “Saya merasakan begitu sakitnya ketika melihat ada pembelokan sejarah Nahdatul Ulama karena ini adalah persoalan yang batil persoalan yang kulil haq walau kana murron (katakan kebenaran meskipun pahit-Red),” jelasnya.

Pemerhati sejarah NU yang juga anggota Tim Kerja Museum NU, Riadi Ngasiran, menjelaskan mengutip Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), didapati fakta bahwa tidak menyebutkan nama Habib Hasyim bin Yahya kakek dari Habib Luthfi sebagai salah satu pendiri NU.

“Ya klaim sepihak tidak bisa dijadikan pijakan sebagai sumber sejarah. Sumber sejarah adalah fakta, bukan dongeng. Kalau ada sumber lisan, itu pun harus diverifikasi usianya sezaman atau tdak,” ujar dia, Selasa (31/7/2024) dikutip dari Republika.

Kata Riadi, pernyataan KH As’ad Syamsul Arifin sangat valid sebagai sumber berdirinya sejarah NU. KH As’ad hidup sezaman dengan para pendiri NU.

“KH As’ad Syamsul Arifin menjadi sumber lisan, tetapi usianya sezaman dengan muassis NU. Apalagi, pelaku langsung yang terlibat dalam proses awal berdirinya NU,” papar dia.

Riadi menjelaskan pernyataan Habib Luthfi bahwa kakeknya “tidak mau ditulis” dalam sejarah berdirinya juga dipertanyakan. Jika kalimat itu langsung disampaikan pelaku bisa dipahami. Misalnya, KH Masykur, Pimpinan Tertinggi Markas Barisan Sabilillah di Malang pada zaman Revolusi.

Setelah merdeka, beliau tidak mau ditulis, setidaknya tidak menonjolkan diri sehingga, semasa hidup beliau hanya ingin adanya masjid yang berdiri sebagai bentuk penghormatannya.

“Maka berdirilah Masjid Sabilillah di Kota Malang. Sesudah itu, selepas wafat beliau baru kita gali jejak perjuangannya. Sehingga, KH Masykur dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional,” tutur dia.

Riadi menekankan, tetapi di luar itu, seperti yang sering disebutkan Habib Luthfi bin Yahya, bahwa kakeknya berperan atas berdirinya NU, perlu dikaji lebih dalam dengan bukti-bukti primer.

Misalnya, apakah ada nama tersebut pada dokumen rapat, berita surat kabar sezaman, dan risalah atau memoar tokoh sezaman. “Bila semua sumber, baik primer maupun sekunder, tidak ada bisa dikatakan bahwa hal itu belum bisa dikategorikan sebagai kebenaran sejarah,” ujar dia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News