Muhammadiyah dan PBNU tidak Memiliki Hak Syar’i untuk Mengelola Tambang

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang berasal dari wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), tidak boleh dikelola oleh individu, swasta, asing, aseng, termasuk tidak boleh dikelola oleh Ormas. Karena tambang dalam wilayah ini depositnya melimpah, terkategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah) dan hanya boleh dikelola oleh Negara sebagai wakil umat, dan mengembalikan manfaatnya (hasilnya) kepada umat.

Tambang milik umum ini, tidak terbatas pada tambang batubara. Tetapi meliputi semua jenis tambang, baik batubara, emas, perak, nikel, migas, dan jenis tambang lainnya, baik Onshore (di permukaan bumi) maupun Offshore (diperut bumi).

Praktik pengelolaan tambang oleh individu, swasta, korporasi, asing dan aseng, adalah praktik tata kelola tambang yang sekuler dan kapitalistik. Praktik semacam ini, hanya akan menjadikan barang tambang milik umum dikuasai privat, manfaatnya berpindah kepada individu atau korporasi, kekayaan tambang hanya akan beredar dikalangan oligarki tambang.

Sedangkan rakyat, hanya kebagian kerusakan lingkungan, bencana alam, ketimpangan ekonomi dan sosial akibat jurang antara si kaya dan si miskin semakin curam. Rakyat hanya kebagian residunya.

Dalam pandangan Islam, hanya Negara yang diberi hak syar’i untuk mengelola tambang. Individu, swasta, korporasi, hingga ormas haram mengelola tambang.

Muhammadiyah, keliru ketika ikut PBNU nimbrung mengelola tambang. Karena Muhammadiyah dan PBNU tak memiliki hak syar’i untuk mengelola tambang. Hanya negara yang punya hak, dan manfaatnya dibagikan kepada seluruh rakyat, bukan hanya dibagikan untuk warga NU atau hanya untuk warga Muhammadiyah.

Semestinya, Muhammadiyah dan NU mendorong Wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang berasal dari wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), diserahkan kepada BUMN sebagai badan usaha milik negara, hasilnya akan menopang APBN untuk melayani kepentingan seluruh rakyat.

Bukan hanya Wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang berasal dari wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), seluruh konsesi dan ijin tambang baik batubara, emas, perak, nikel, migas, dan jenis tambang lainnya, baik Onshore (di permukaan bumi) maupun Offshore (diperut bumi), harus dikelola BUMN. Bukan dikelola Bumi Resourches, PT Kaltim Prima Coal, PT Toba Group Energy, PT Jholin Group, PT Adaro Group, PT Freeport, perusahan China, dan perusahan swasta lainnya.

Semua hasil tambang itu masuk sebagai sumber pemasukan APBN. Bukan hanya membuat kaya raya oligarki tambang, sementara APBN diambil dari memalak pajak rakyat.

Tambang itu milik umum, seperti laut, sungai, hutan. Tak boleh ada laut dikuasai ormas. Tak boleh ada hutan dikuasai ormas. Tak boleh ada sungai dikuasai oleh ormas. Semua harus dikelola negara, dan manfaatnya dibagikan kepada seluruh rakyat, bukan hanya untuk PBNU dan Muhammadiyah.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api (energi).” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).

Yang lebih penting, Muhammadiyah dan NU tak boleh masuk jebakan rezim. Yang mengumpan Muhammadiyah dan NU kepada Rakyat, untuk dibenturkan dengan rakyat, hanya dengan suap receh konsesi tambang 5 tahun. Suap ini, akan menjadikan Muhammadiyah dan NU tameng kerusakan tata kelola tambang rezim Jokowi, dan menutupi kerakusan oligarki tambang di negeri ini.

Muhammadiyah dan NU hanya akan dijadikan keset oleh rezim Jokowi. Dijadikan sasaran kemarahan rakyat. Padahal, hanya menikmati secuil kue tambang, namun akan menggadaikan kewajiban amar Ma’ruf nahi mungkar.

Lidah Muhammadiyah dan NU akan kelu, karena sudah disumpal suap duit tambang. [].