Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Republik Mimpi. Julukan ini pantas ditempelkan pada Indonesia saat ini. Karena dipimpin oleh para
pemimpi: the dreamers. Khususnya Luhut Binsar Panjaitan dan Jokowi. Keduanya menyetir kabinet. Keduanya merupakan pemimpi terbesar Indonesia, sepanjang sejarah Indonesia berdiri.
Pemimpi atau pengkhayal, beda tipis dengan pembohong. Kita tidak tahu pasti, apakah yang bersangkutan sedang bermimpi, berkhayal, atau berbohong. Karena, pernyataan tidak pernah menjadi kenyataan.
Dalam kondisi yang lebih memprihatinkan, pemimpi atau pengkhayal yakin akan kebenaran khayalannya. Bagaikan pengidap skizofrenia. Pikiran tidak sambung dengan kenyataan.
Sejak 2014, banyak kebijakan Jokowi dan Luhut seperti berkhayal: tidak ada yang menjadi kenyataan. Sebut saja mobil Esemka, yang merupakan khayalan kelas tinggi tanpa tanding. Ini mimpi, khayal atau bohong? Beda tipis.
Kembali ke topik awal, Family Office. Sekonyong-konyong Luhut bicara mau memberi fasilitas Family Office, bebas pajak, di Bali. Katanya, Jokowi sudah setuju.
Melalui Family Office, duo Luhut-Jokowi mau melanjutkan mimpi dan khayalan sebelumnya, yaitu mimpi menarik modal asing ke Indonesia, melalui Indonesia Sovereign Wealth fund, yang dinamakan Indonesia Investment Authority, atau disingkat INA, yang akhirnya menjelma menjadi Lembaga Pengelola Investasi.
Luhut-Jokowi berkhayal mendirikan sovereign wealth fund, tapi tidak punya kekayaan. Yang ada, malah utang pemerintah naik terus. Keuangan negara nyaris bangkrut. Makanya, Jokowi menaikkan pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, dan akan naik lagi menjadi 12 persen pada tahun depan.
Nama Lembaga Pengelola Investasi (LPI) memang lebih cocok. Ceritanya, LPI mau mengelola modal asing, termasuk modal orang kaya asing, antara lain dari Uni Emirat Arab dan Saudi Arabia. Atau Softbank. Investor asing diiming-imingi bermacam-macam proyek di IKN. Proyek air bersih, listrik, infrastruktur, dan lainnya. Tetapi gagal total. Tidak ada investor asing yang mau menyerahkan uangnya kepada LPI. Softbank kabur. Sepertinya, LPI akan rugi besar, yang pastinya akan merugikan keuangan negara.
LPI gagal. Mimpi berlanjut ke Family Office. Investor diimingi-imingi bebas pajak di Bali. Pulau yang sangat suci bagi umat Hindu mau dijadikan tempat penyimpanan uang tidak jelas, dan berpotensi pencucian uang ilegal. Kacau. Kacau sekali.
Apa sebenarnya Family Office? Kenapa Indonesia baru sekarang meributkan Family Office?
Family Office bukan barang baru. Family Office sudah ada sejak puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Dulu disebut stewardship, profesional yang diserahkan mengelola harta kekayaan keluarga kerajaan dan para bangsawan, untuk optimalkan tingkat keuntungan investasi: bukan untuk mengemplang pajak, apalagi untuk pencucian uang.
Stewardship modern sekarang dikenal dengan Family Office, untuk mengelola (Office) harta orang atau keluarga super kaya (Family).
Family Office di era modern ini pertama kali diprakarsai oleh JP Morgan pada pertengahan abad ke 19, dengan mendirikan perusahaan investasi keluarga yang kemudian dikenal dengan House of Morgan
Menjelang akhir abad ke 19, keluarga Rockefeller mendirikan Family Office untuk mengelola harta kekayaan keluarganya, dan kemudian meluas mengikutsertakan harta keluarga orang super kaya lainnya. Jenis Family Office ini dikenal dengan Multi-Family Office yang sekarang berkembang sangat pesat.
Artinya, Family Office tidak lain merupakan perusahaan private equity atau fund manager. Banyak bank terkemuka sekarang juga mendirikan unit Wealth Management, yang intinya adalah fund manager atau Multi-Family Office yang menawarkan jasa pengelolaan investasi kepada para orang kaya.
Beberapa bank di Indonesia, khususnya bank asing dan beberapa bank lokal besar, juga sudah menawarkan jasa semacam Multi-Family Office, dan wealth management.
Global Family Office, termasuk bank global, sudah mempunyai kantor di hampir seluruh dunia, termasuk di negara-negara yang mempunyai keunggulan pajak, seperti Singapore.
Singapore bukan saja menawarkan keunggulan pajak. Yang lebih penting dari itu, Singapore menawarkan birokrasi yang efisien, yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini faktor yang sangat penting bagi orang kaya global untuk menempatkan uangnya.
Singapore menempati urutan ke-4 negara yang paling bersih dari korupsi sedunia. Indonesia menempati urutan ke-115 dan termasuk negara dengan tingkat korupsi yang kronis. Oleh karena itu, tidak ada orang kaya yang mau menyerahkan uangnya untuk dikelola di negara dengan birokrasi dan mental koruptif.
Mimpi dan khayalan Luhut-Jokowi, ilusi Family Office, dan Republik Mimpi, akan segera buyar.