Khilafah, Menyelesaikan Perkara Zina: Refleksi Kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Zina adalah perbuatan tercela, hubungan seksual antara lelaki dan perempuan tanpa akad nikah yang syar’i. Dalam Islam, baik salah satu sudah menikah atau keduanya masih lajang, hubungan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan tanpa akad nikah tetap disebut zina.

Hal ini berbeda dengan pasal perzinahan dalam KUHP, yang harus memenuhi unsur salah satu sudah menikah (sudah bersuami atau beristri). Sehingga, dalam Pasal 411 ayat (1) KUHP jika zina dilakukan secara sukarela, bukan perzinahan. Jika dilakukan sesama lajang, juga bukan zina.

Ketua KPU disebut telah melakukan ‘hubungan baran’ oleh Majelis Hakim DKPP (Dewan Kode Etik Penyelenggara Pemilu). Frasa ‘hubungan badan’ maksudnya adalah hubungan seksual, atau hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang mempertemukan alat kelamin mereka. Hubungan badan, adalah frasa penghalus untuk maksud dari hubungan seksual.

Hasyim disebut telah melakukan perbuatan asusila, karena telah melakukan hubungan badan. Perbuatan asusila, dalam kasus ini, adalah hubungan badan atau hubungan seksual yang dilakukannya dengan perempuan berinisial CAT.

Salah satu anggota Majelis Hakim DKPP, Dewi Pettalolo mengungkapkan pada 2 Oktober sampai dengan 7 Oktober 2023, CAT mengaku Hasyim selaku Teradu memaksa melakukan hubungan badan. Hal tersebut terjadi dalam pelaksanaan bimbingan teknis (bimtek) PPLN di Den Haag.

“Teradu mengajak CAT mengunjungi hotel untuk berbincang di ruang tamu kamar hotel, tetapi teradu merayu dan membujuk melakukan hubungan badan,”

kata Ratna Dewi, di Ruang Sidang Utama DKPP, Rabu (3/7/2024).

Sebelumnya, Hasyim Asy’ari disebut telah membantah terkait dugaan pemaksaan hubungan badan. Tidak ditegaskan, apakah yang dibantah pemaksaannya, atau hubungan seksualnya.

Bisa saja, hanya menolak memaksa tapi mengakui telah melakukan hubungan badan, tapi atas dasar suka sama suka agar terhindar dari sanksi, baik sanksi DKPP maupun sanksi pidana. Mengingat, hubungan seksual yang suka sama suka tidak dianggap asusila dan bukan pidana (dalam pandangan hukum KUHP/sekuler).

Kendati demikian, DKPP yang telah melakukan pemeriksaan berdasarkan bukti-bukti menyatakan bahwa hal tersebut, yakni hubungan badan, benar telah terjadi.

Dalam Islam, hubungan badan atau hubungan seksual antara laki laki dan perempuan yang tanpa akad nikah syar’i itu adalah zina. Akad nikah itu harus syar’i, jika tidak syar’i seperti nikah kontrak, statusnya juga tetap zina.

Zina, adalah salah satu hudud Allah. Yakni, perbuatan tertentu yang dilarang dan telah ditetapkan sanksi tertentu.

Sanksi atau uqubat perbuatan zina tertentu (limitatif). Bagi yang sudah menikah, sanksinya adalah dirajam sampai mati. Bagi yang masih lajang, didera 100 kali dan diasingkan selama setahun.

Sanksi zina dalam Islam, harus dilakukan oleh kekuasaan Islam, yakni dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prosesnya, diawali dengan peradilan Islam dengan sistem pembuktian Islam, lalu disanksi oleh penguasa.

Jadi, yang punya otoritas untuk merajam pezina adalah institusi Khilafah berdasarkan putusan pengadilan. Hakim memutus perkara zina dengan pembuktian Islam (ahkam Al Bayyinah).

Bukti zina, bisa pengakuan pelaku, atau empat orang saksi yang adil. Jadi, cukup dengan pengakuan didepan pengadilan, seorang pezina bisa disanksi rajam. Hal ini, terjadi pada kasus Maiz yang akhirnya disanksi rajam, setelah mengaku berzina dihadapan Rasulullah SAW, sebagai Qadli (hakim) sekaligus penguasa Islam di Daulah Islam Madinah.

Rasulullah, memberikan putusan rajam kepada Maiz berdasarkan pengakuan Maiz. Tanpa empat orang saksi, karena dengan pengakuan, kasus zina telah dapat dibuktikan.

Dalam kasus Hasyim Asyari, realitas putusan DKPP bukanlah sekedar tindakan asusila biasa, melainkan zina. Karena dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim DKPP tegas menyebut telah terjadi hubungan badan (hubungan seksual) antara hasyim Asyari dengan CAT.

Dalam Islam, jika Hasyim terbukti zina, maka sanksinya adalah rajam. Hanya saja, sanksi ini dilakukan oleh institusi Khilafah, bukan oleh ormas atau kiyai.

Untuk membuktikan Hasyim telah berzina, secara hukum Islam butuh pengakuan yang tegas dari Hasyim. Dalam kasus ini, Hasyim hanya membantah melakukan paksaan terhadap CAT. Bantahan ini, harus dipastikan apakah hanya bantahan atas pemaksaan saja, bukan membantah telah berhubungan badan, yang memang diakui telah terjadi. Atau membantah memaksa dan membantah berhubungan badan.

Sedangkan bukti dokumen dan pengakuan CAT, belum bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi rajam karena harus ada 4 orang saksi yang melihat langsung. Dalam kasus ini, harus dipastikan Hasyim mengakui telah melakukan hubungan badan. Jika hal ini terjadi, maka Hasyim harus dirajam.

Tetapi dalam konteks pertimbangan ‘terbukti telah melakukan hubungan badan’, maka frasa hubungan badan ini dalam Islam adalah zina. Jadi, jangan diperhalus dengan frasa tindakan asusila. [].