Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Pasca kekalahannya dalam Pilpres 2024, Anies kembali diwacanakan untuk kembali maju Pilgub DKI Jakarta (Baca: DKJ). PKS adalah salah satu Parpol, yang mewacanakan mengusung Anies maju dengan syarat didampingi kader PKS sebagai Cawagubnya.
Anies sendiri, eksplisit tidak menolak pencalonan dirinya untuk maju kembali di Pilgub DKI. Bahkan, saat menanggapi wacana duet dengan Kaesang, Anies tidak tegas menolak. Secara implisit Anies membuka diri atas semua kemungkinan, termasuk jika dicalonkan bersama Kaesang.
Bagi Anies, posisi di Pilgub DKI sangat penting untuk menjaga posisinya agar tetap eksis didunia politik dan untuk menyambung hasyrat politik, jika kedepan mau ikut lagi di Pilpres 2029. Karena tidak berpartai, Anies membutuhkan posisi di DKI sebagai sarana aktualisasi dan menjaga eksistensinya di dunia politik.
Namun, posisi Anies saat ini seperti kartu mati. Atau, angka mati. Kesimpulan politik ini didasari beberapa argumentasi, diantaranya:
Pertama, Anies kehilangan pendukung ‘Die Hard’ ketika maju Pilgub DKI. Apalagi, jika pilihannya diusung Parpol penguasa, atau didampingi/mendampingi Kaesang.
Anies akan dicap sebagai pengkhianat, karena mengakui kemenangan Prabowo Gibran, dengan melakukan rekonsiliasi politik melalui proses Pilkada. Sampai hari ini, pendukung militan Anies masih meyakini Anies yang akan dilantik sebagai Presiden, dan masih meyakini kecurangan Pilpres 2024 -meskipun telah diputus MK- masih berpeluang dianulir.
Para pendukung Anies, akan menilai Anies hanya petualang kekuasaan, yang haus kekuasaan. Bukan seorang ksatria, yang konsisten dalam ucapan, dan membersamai pendukung untuk terus melawan kecurangan.
Maju Pilkada, akan mengkonfirmasi Anies tak beda dengan politisi pragmatis lainnya. Semboyannya sama: tak ada rotan, akar pun jadilah. Tak jadi Presiden, Gubernur pun jadilah, yang penting berkuasa.
Para pendukung militan Anies ini, akan mengambil opsi justru beroposisi terhadap Anies dalam Pilgub DKI Jakarta, persis seperti pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 yang beroposisi terhadap Prabowo pada Pilpres 2024, karena motif yang sama: kecewa berat.
Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa syarat untuk menang kontestasi dalam demokrasi baik Pilpres maupun Pilkada, adalah adanya dukungan ISITAS (duit) dan OTORITAS (Kekuasaan). Tak peduli elektabilitas, cerdas, program bagus, kalau tidak didukung duit dan kekuasaan, siapapun pasti akan kalah.
Anies, akan berada pada dua dilema. Antara visi ingin menang dengan dukungan ISITAS & OTORITAS atau setia pada konsituen dengan konsekuensi kalah lagi untuk yang kesekian kalinya.
Anies, tak mungkin mengulang sukses Pilkada saat mengalahkan Ahok. Jika Anies mengambil oposi berseberangan dengan penguasa seperti pada Pilpres 2024, maka seluruh otoritas kekuasaan akan menjadikan Anies common enemy, dan memastikan bekerja sama untuk menggebuk Anies hingga Anies mengalami kekalahan dalam Pilgub DKI seperti kekalahan yang dialami saat Pilpres 2024.
Jadi, tak akan ada Sukses Story Anies saat melawan Ahok, akan terulang. Apalagi, tanpa sentimen dukungan umat Islam seperti aksi bela Islam yang merupakan dampak penistaan agama oleh Ahok yang menguntungkan Anies dalam Pilkada ketika itu.
Ketiga, Anies mungkin saja mengambil jalan pragmatis, merapat ke kekuasaan untuk mendapatkan dukungan ISITAS & OTORITAS, persis seperti Prabowo yang merapat ke Jokowi pasca kalah oleh Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.
Saat itu, Prabowo kalah terhadap Jokowi. Lalu, Prabowo merapat untuk mendapatkan dukungan ISITAS & OTORITAS, hingga akhirnya menang.
Jika Anies mengambil jalan yang ditempuh Prabowo, maka Anies akan mati kartu dalam pandangan rakyat yang dahulu mendukungnya karena narasi perubahan. Anies, akan menjadi deretan lawan politik rakyat setelah membelot pada kekuasaan.
Jadi, posisi Anies di Pilkada DKI Jakarta seperti kartu mati. PKS pun, mengorbitkan Anies hanya sebagai gimmick. Jika pada akhirnya koalisi penguasa benar-benar mengajak PKS berkoalisi dengan penguasa maju Pilgub DKI seperti pengakuan Presiden PKS Ahmad Syaikhu, maka dapat dipastikan PKS akan merapat dan segera meninggalkan Anies.
Sederhana saja alasannya, PKS paham betul yang menang dalam kontestasi adalah yang mendapat dukungan ISITAS & OTORITAS. Bergabung dengan koalisi kekuasaan, artinya bergabung dengan kemenangan. PKS juga sudah mulai bosan, menjadi partai oposisi selama 10 tahun. PKS, ingin kembali menikmati kue kekuasaan lagi, seperti saat PKS berada di kekuasaan bersama SBY. [].