Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
Holopis kuntul baris adalah semangat saling menjaga menguatkan dan kegotongroyongan yang bersendikan semanga keikhlasan dan itsar. Tanpa spirit saling bantu dan saling tolong tentu tak mencerminkan holopis kuntul baris. Bagi para amil sangat jelas gambaran penerapan ungkapan ini. Mereka tak cukup membantu dan menolong mustahik tapi juga pada saat yang sama harus mencerminkan pergaulan dan gambaran lingkungan amil yang saling dukung dan bekerja sama yang nyata dalam indahnya ukhuwah Islam
Bila kita menelusuri spirit saling bantu sesama, sesungguhnya semangat kedermawanan, semangat filantropi maupun jiwa berbagi sejatinya adalah persoalan nurani dan fitrah manusia. Kadang tanpa landasan keimanan dan keislaman, seseorang terpanggil hatinya untuk berbagi kepada sesama. Lihat saja tren pengusaha sukses duni saat ini, sebut saja Warren Buffet, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg. Ketiganya terbiasa berbagi dengan banyak orang tak mampu. Dan donasi mereka ini pun tentu fantastis jumlahnya. Bagi serta Muslim, tentu perkara berbagi ini bukan hal baru. Islam, seiring kemunculannya, mengenalkan istilah itsar. Gambaran itsar dalam bingkai holopis kuntul baris itu tercermin dalam hubungan orang-orang Anshar dan kaum Muhajirin pada masa Nabi. Betapa sikap saling mendahulukan ini demikian mewujud nyata tanpa basa-basi dan tak menunggu berbagai teori mereka terima. Mereka tentu bersikap demikian bukan terpaksa tapi penuh pemaknaan yang mendalam atas ajaran Islam yang mereka pahami dan yakini. Di tengah kemiskinan dan segala derita yang ada, mereka benar-benar menunjukkan kemuliaan bersaudara.
Itsar sendiri pengertiannya secara bahasa adalah “melebihkan orang lain atas dirinya sendiri”. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang harus ada di tengah relasi para amil. Sifat ini, sebagaimana spirit holopis kuntul baris, adalah semangat tertinggi pengorbanan dalam lingkaran persaudaraan. Hanya saja, walau mendatangkan kecintaan sesama manusia, penerapan sifat ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Secara logika teramat berat karena yang dituntut dalam merealisasikan itsar adalah semangat “mengorbankan” diri sendiri demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan imbalan apa pun. Siapa yang hari ini mau berkorban tanpa menuntut imbalan? Tentu bukan hanya istimewa tapi juga langka. Semangat untuk mengutamakan selain dirinya atau untuk kepentingan orang lain. Meskipun semangat ini tak mudah diamalkan setiap orang, para amil tetap saja akan terus-menerus menemukannya sepanjang dirinya masih sebagai seorang amil.
Dalam realisasi nyata, bisa saja sang amil yang mempraktikkannya. Meskipun tak banyak memiliki kelebihan harta, ia justru begitu ringan tangan tatkala dimintai tolong oleh amil lainnya untuk meminjamkan uangnya. Dalam keadaan ini, karena spirit itsar, amil pertama rela meminjamkan apa yang dimilikinya semata-mata hanya mengharap ridha Allah.
Semangat holopis kuntul baris tanpa pemahaman niat dan kualitas terbaik amal adalah omong kosong. Ungkapan tersebut hanya akan jadi pepesan kosong tanpa makna. Hanya sebuah pencitraan tanpa esensi dan penuh gincu kata-kata yang tak berguna. Esensi bekerja bersama menuju kemuliaan terletak adanya sikap saling bantu, saling tolong, dan saling mendahulukan satu sama yang lain.
Dalam karyanya, Madarijus Salikin Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata bahwa itsar lebih “Dermawan adalah memberikan sesuatu yang banyak dengan menyisakan sedikit untuk dirinya atau menyisakan yang sama dengan yang diberikan. Adapun itsar, mengutamakan orang lain padahal ia membutuhkannya.”
Inti dari pemaknaan holopis kuntul baris adalah spirit kebersamaan dalam kebaikan. Semangat ini harus terus dijaga, ditumbuhkan, dan dirawat agar mampu menunjukkan buah kebaikannya bagi perbaikan umat manusia dan peradaban zakat. Di balik kuatnya menghidupkan semangat itu, berikut ini kenyataan yang harus dihadapi ke depan oleh para amil sejati.