Presiden Joko Widodo (Jokowi) rela merusak konstitusi demi membangun dinasti dengan meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka (Gibran) menjadi wapres mendampingi Prabowo Subianto.
“Jokowi mempunyai ambisi berkuasa seumur hidup dengan memanfaatkan demokrasi. Ia rela merusak demokrasi untuk membangun dinasti agar keluarganya berkuasa di Indonesia,” kata aktivis Molekul Pancasila Nicho Silalahi kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (4/5/2024).
Menurut Nicho, Jokowi melakukan penyanderaan terhadap elite politik yang terkena kasus korupsi agar bisa melanggengkan dinasti politik. “Para elite politik semua mengikuti Jokowi karena tersandera kasus korupsi,” paparnya.
Kata Nicho, Jokowi dan keluarganya terus menumpuk kekayaan melalui dinasti politik. “Kekuasaan dan kekayaan saling terkait. Orang berkuasa ingin memperkaya bukan memperjuangkan kepentingan rakyat,” paparnya.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, menyebut aksi Presiden Joko Widodo yang melanggengkan dinasti politik dan nepotisme dalam Pemilu 2024 bertentangan dengan kedauluatan rakyat.
Petrus mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyatakan Jokowi telah melakukan pelangaran hukum.
“Posisi Presiden Jokowi sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden menurut ketentuan pasal 7A dan 7B UUD 1945,” ungkap Petrus melalui keterangan tertulis, Rabu (21/2).
Pada titik ini, dinasti politik dan nepotisme jelas merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara bagi setiap penyelenggara negara, yang melalukan perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarga dan kroninya di atas kepentingan masyarakat,” imbuhnya.
Ia melihat dinasti politik dan nepotisme Jokowi secara nyata telah terbukti melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Itu pada akhirnya merusak asas-asas Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Petrus membeberkan ada sejumlah fakta yang menempatkan posisi Jokowi patut diduga telah melanggar hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Pertama, Jokowi dinilai sering berbohong kepada Rakyat tentang netralitas dirinya dan aparaturnya, termasuk perilakunya tidak melibatkan diri dalam persoalan pilihan politik anak-anaknya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Kedua, Jokowi menyatakan presiden boleh ikut berkampanye dan memihak pasangan calon tertentu. Padahal, ketentuan UU Pemilu melarang presiden memihak pasangan calon peserta pemilu.
Ketiga, Jokowi menggunakan iparnya Anwar Usman ketika menjabat sebagai Ketua MK membukakan jalan bagi Gibran menjadi cawapres. Di sini, terjadi pelanggaran terhadap pasal 24 UUD 1944 karena membuat MK kehilangan kemerdekaan dan kemandirian.
Keempat, Petrus mengemukakan Jokowi yang menempatkan anaknya menjadi wali kota Surakarta dan menantunya, Boby Afif Nasution, menjadi Walikota Medan, adalah bagian dari membangun dinasti politik dan nepotisme.
Kelima, Petrus menilai Jokowi sudah tidak punya urat malu karena meskipun telah berkali-kali dikritisi oleh banyak pihak dengan pernyataan yang menistakan, akan tetapi Jokowi tidak pernah merasa dinistakan sedikitpun bahkan menganggap sebagai soal kecil.
“Pernyataan itu jadi isyarat bahwa Presiden dengan kekuatan penuh ASN dan Aparatur Negara lainnya akan berkampanye untuk Paslon 02, karena di dalamnya ada Gibran,” tandasnya. (