Partai politik di Indonesia tidak ada yang konsisten menjadi oposisi. Mereka bisa berkoalisi pemerintah di Pilkada.
“Tidak ada satupun partai yang jujur & konsisten bersikap oposan. Di level pusat bermain kompromi di balik layar, di arena Pilkada berbagi jatah,” kata kritikus Faizal Assegaf di akun X, Jumat (26/4/2024).
Tidak ada partai politik yang konsisten oposisi, kata Faizal menjadi dasar berdirinya Partai Negoro.
“Asbab itu Partai Negoro hadir galang gerakan gagasan melawan politik tipu-tipu elite partai. Kita akan terus bergerak bebas dan mengambil posisi mitra kritis terhadap penguasa,” jelasnya.
Koalisi Prabowo-Gibran memungkinkan untuk mencomot partai politik lain yang saat ini masih mengusung pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk bergabung di pemerintahan.
Tujuannya, agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa “mengamankan kekuatan politik di parlemen supaya kebijakan politiknya tidak mendapat resistensi”.
“Ada kemungkinan koalisi Prabowo-Gibran akan merangkul pihak yang kalah, sesuai dengan jargon politik Prabowo: politik merangkul dan politik kerjasama,” kata Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Pratyitno
Ada dua kemungkinan: ‘sapu bersih’ semua rival dirangkul atau koalisi terbatas sesuai kebutuhan di parlemen, kata Adi Pratyitno.
“Dia cukup menambah kekuatan parlemen di kisaran angka [total] 55% atau menambah 10%. Itu artinya Prabowo hanya butuh satu atau dua partai politik untuk mengamankan kepentingan politik di parlemen,” katanya.
Menurut Adi, potensi partai politik yang tergoda untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Nasdem. Alasannya sederhana, partai-partai ini tidak cukup punya pengalaman menjadi oposisi.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau PKB dan Nasdem itu siap beroposisi. Atau PPP,” kata Adi.