Mahkamah Konstitusi selaku Pengawal Konstitusi yang menangani Perkara Sengketa Pilpres hari hari ke depan akan diuji kembali Keadilan nya dalam menangani sengketa Konstitusi. Ketua Umum DPP APIB, Aliansi Profesional Indonesia Bangkit, Erick Sitompul berharap ke delapan hakim yang memimpin persidangan untuk berlaku adil dan bijak dalam merespon semua gugatan para pihak pemohon.
Saat ini rakyat sedang menyaksikan seluruh hakim MK apakah mereka bekerja hanya menyidangkan sengketa pilpres ini sebagai proses formalitas PHPU saja. Erick berharap tidak seperti itu, karena rakyat berharap seluruh hakim agar berlaku super cermat, meneliti semua materi gugatan, membaca bukti bukti, fakta, argumentasi pemohon dan kehadiran saksi saksi serta para Ahli yang diajukan Paslon Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Paslon Ganjar Pranowo – Mahfud MD.
Sehingga putusan hakim MK akan memberi rasa keadilan bagi rakyat, setidaknya bagi 57 juta rakyat pemilih suara ke 2 pemohon. MK juga punya kewajiban untuk turut menjaga persatuan bangsa dari pelbagai isue konstitusi yang dapat menyebabkan perpecahan anak bangsa.
Hakim MK harus juga mendengar dan mempertimbangkan banyak nya desakan dari luar pengadilan MK, terutama dari kalangan Infra Struktur politik yang sangat banyak mengungkap banyaknya informasi pelanggaran dan kecurangan Pemilu dan kesemrawutan hasil kerja jajaran KPU dari pusat hingga di jajaran KPU Kecamatan baik di media sosial, media TV maupun media massa kata Erick lagi.
Para hakim MK juga perlu mempertimbangkan juga hasil kajian 303 para guru besar sebagai Amicus Curiae dari puluhan Universitas se Indonesia, yang telah menyerahkan masukan kerja ilmiah kepada seluruh hakim MK tentang kajian ilmiah mereka terhadap putusan No. 90 MK tentang Gibran untuk dapat dipertimbangkan.
Erick menilai PHPU tidak berarti hakim hanya fokus pada sengketa selisih hasil suara saja, tapi juga menilai seluruh materi gugatan pemohon terkait proses politik dan proses kebijakan pemerintah menyangkut kebijakan keuangan negara sebelom Pemilu.
Gugatan pemohon atas pelanggaran terhadap UU Pemilu pada kasus Gibran, hingga adanya bukti bukti serta gugatan pemohon telah terjadi Abuse of Power atau penyalah gunaan dari Presiden Jokowi terutama tentang kebijakan Distribusi Bansos yang dituding pemohon telah melanggar UU APBN, dengan nilai mencapai 470 Trilyun itu, maka hakim harus mempertimbangkan kemungkinan Pilpres untuk diulang kembali agar tercapai Pilpres yang jujur dan adil.
Rakyat berhak mendapat putusan yang adil dengan keberanian dari para hakim karena dana APBN ratusan Trilyun itu berasal dari perolehan uang pajak dari rakyat untuk negara melalui APBN. Mengingat itu uang rakyat Indonesia bukan uang Paslon tertentu yang tentu tidak bisa seenaknya di politisasi oleh pemerintah untuk memenangkan 1 Paslon. Jadi materi gugatan ke 2 pihak pemohon tersebut sangat substansial dan layak untuk menguatkan putusan hakim agar dilaksanakan Pilpres ulang. Karena gugatan kedua pemohon itu bukanlah obscure libel, tegas Erick lagi.
Jujur saja, sebenarnya rakyat sudah tidak percaya lagi kepada hakim hakim MK selama ini. Rakyat belom lupa bagaimana hakim hakim MK bekerja pada gugatan Pilpres 2019 dan pada sidang gugatan saat MK mengeluarkan putusan No. 90 / 2023 yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres.
Apalagi pemohon gugatan soal Gibran itu cuma 1 orang mahasiswa, bukan mewakili universitas, bukan mewakili ormas mahasiswa, bukan pula mewakili organisasi kemasyarakatan, jadi sama sekali bukan termasuk mewakili kelompok infrastruktur politik, tidak jelas legal standingnya. Darimana jalannya bisa di kabulkan MK, putusan MK No. 90 /2023 itu dipaksakan menabrak konstitusi, karena Gibran putra Presiden Jokowi adalah keponakan paman Usman ketua MK saat itu.
Rakyat tahu bahwa hakim hakim MK saat itu bekerja dibawah tekanan penguasa. Rakyat tau para hakim tidak bekerja secara cermat, adil dan bijak pada perkara perkara kontroversi yang dituding banyak pakar sebagai produk haram konstitusi itu , kata Erick lagi
Ketua DPP APIB Ahmad Iskandar Jaun menambahkan dalam scope lebih kecil, bahwa dalam catatan nya bahwa hakim MK pernah 3 kali meng anulir kemenangan Paslon di 3 Pilkada, bukan karena menilai masalah selisih hasil Pemilu semata, namun melihat karena ada penyalah gunaan undang undang seperti contoh kasus di salah satu pilkada ada Paslon yang memiliki kewargaan negara ganda.
Ini artinya, para hakim MK juga paham bahwa penyelesaian sengketa PHPU bukan semata pada persoalan selisih hasil suara paslon saja, tapi ada masalah hukum yang terjadi dimana KPUD meloloskan Paslon yang menabrak hukum yang mengakibatkan timbul kecurangan dalam pilkada. Untuk pilkada yang scope nya kecil MK berani bersikap tentu untuk pilpres yang scope nasional MK mestinya berani bersikap membuat putusan yang adil dengan memerintahkan Pilpres diulang, kata Iskandar yang pernah menjadi ketua KPUD di salah satu Kabupaten di Jawa Barat.