Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Kecurangan Pilpres itu fakta, tinggal bagaimana cara mengungkap pembuktiannya.
Pengumuman KPU yang memenangkan Paslon 02 Prabowo-Gibran itu bukan kemenangan asli, tapi kemenangan kecurangan. Angka 58 % itu didapatkan dari dua cara ; menggelembungkan angka secara proses dari data yang sudah direkayasa dari KPU Daerah dan Panitia tingkat Kecamatan, yang kedua, KPU “menyulap” suara dengan menggunakan Aplikasi Sirekap yang memang sedari awal sudah disetting angka 58% dengan menggunakan algoritma tertentu.
Jika saja KPU mau jujur dan buka-bukaan (transparan) menunjukkan hasil real count yang bersumber dari TPS-TPS, dipastikan Paslon 02-lah yang menang.
Perjuangan Paslon 01 ke MK bukan karena tidak mau menerima kekalahan, tapi kemenangan 01 telah disabotase oleh Jokowi melalui tangan KPU. Paslon 02 yang seharusnya kalah tapi oleh KPU “disulap” menjadi menang.
Apabila kita mengacu kepada survey litbang Kompas, yang tidak setuju Hak Angket (Pemilih Paslon 02) itu cuma 32%, yang 62.2% justru menginginkan Hak Angket. Jika pun suara yang tidak tahu sekitar 6% mau digabungkan, maka suara Paslon 02 itu sebenarnya cuma 38%, yang selebihnya itu suara Paslon 01. Lalu angka 58% untuk Paslon 02 itu asal-muasalnya dari mana ?
Bukankah selama kampanye Paslon 02 tidak direspon rakyat kecuali hanya beberapa orang saja, lalu angka 58% itu dari mana ? Bagi rakyat awam pun bisa menebak kalau angka 58% dipastikan dari hasil kecurangan dan penipuan oleh KPU.
Jika saja Pengadilan atau DPR melalui Hak Angket mau memerintahkan agar semua data dan perangkat KPU diaudit, dipastikan akan ditemukan perbuatan rekayasa dan tipu-tipu dari KPU, dan Ketua KPU bisa dihukum mati atau minimal harus dipidana selama 10 tahun. Tapi semuanya terus ditutupi dan saling menutupi.
Saat ini bola panas sedang berada di MK. Jika saja MK mampu independen, berani, jujur, adil dan mampu membuat terobosan hukum tidak sekedar text book hanya mengadili selisih suara, tapi mampu mengadili proses kecurangan Pilpres yang TSM yang menyebabkan munculnya angka aneh 58% bagi Paslon 02, dipastikan akan terbongkar seluruh kecurangan dan rekayasa sehingga Paslon 02 harus didiskualifikasi.
Saat ini Jokowi sangat ketakutan kalau kecurangannya bakal terbongkar sehingga Jokowi dengan tangan kotornya terus menghalangi diselidiknya Proses Pilpres, baik menghalangi bergulirnya Hak Angket maupun proses pengadilan di MK. MK mau terus diintervensi, Anwar Usman diselundupkan, dan para saksi 01 dan 03 dihalangi dan diintimidasi. Jika memang kemenangan Paslon 02 tidak curang, mengapa panik dan terus menghalangi berjalannya proses pengadilan yang jujur, adil, dan transparan.
Jika MK bisa mengadili secara jujur, adil, dan transparan hampir dipastikan besar Paslon 02 bakal didiskualifikasi atau minimal dilakukan Pemilu ulang tanpa Gibran.
Jika MK jujur dan adil, ada tiga kemungkinan keputusan MK :
Pertama, Paslon 01 diputuskan menjadi Pemenang Pilpres 2024 sesuai dengan hasil real count KPU yang sahih yang berdasarkan suara dari TPS-TPS
Kedua, Paslon 02 didiskualifikasi karena terlibat kecurangan Pemilu secara TSM sehingga Pilpres harus diulang tanpa keikutsertaan Paslon 02
Ketiga, Gibran didiskualifikasi lalu dilakukan Pemilu Ulang dengan 3 Paslon tanpa Gibran
Saat ini arah angin MK akan membatalkan kemenangan Paslon 02, Prabowo-Gibran.
Lalu, kenapa partai-partai tidak membaca arah kecenderungan ini malah sibuk rebutan kursi menteri, memangnya Prabowo sudah positif mau jadi Presiden ?
Jika saja partai pendukung Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS dan PKB) ikut-ikutan menerima tawaran Menteri dari Prabowo, sungguh telah mereka kehilangan ruh kebenaran dan mentolerir kecurangan, dan mengkhianati perjuangan perubshan. Tidak guna lagi koar-koar perlunya perubahan.
Itu juga berarti : membiarkan kecurangan meraja lela, membiarkan politik dinasti menggantikan demokrasi, membiarkan Indonesia tetap berada dalam kendali oligarki taipan dan China komunis, membiarkan korupsi merajalela karena Prabowo dan Gibran adalah koruptor, membiarkan hukum diacak-acak, dan membiarkan rakyat terus menjadi korban dan obyek yang selalu tertindas.
Mari bersabar menunggu keputusan MK semoga bisa adil dan mampu merespon tuntutan rakyat.
Jika MK juga masuk angin dan kongkalingkong dengan kekuasaan, maka jalan terakhir adalah diberlakukannya Parlemen jalan dan Pengadilan Rakyat.
Bandung, 18 Ramadhan 1445