Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai menyamakan Prabowo dengan Tuhan karena menyebut ‘In Bapak Prabowo, We Trust’.
“SBY dalam pidatonya di acara berbuka puasa bersama, “Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih”, tanpa Gibran hadir, menyebutkan “In Bapak Prabowo, We Trust”. Semboyan ini telah mensejajarkan Tuhan dengan Prabowo. Oleh karena semboyan aslinya adalah “In God We Trust”, sebuah semboyan yang dimiliki Amerika sejak seabad lalu,” kata Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan dalam artikel berjudul “In Prabowo We Trust” dan Nasib Bangsa ke Depan.
Kata Syahganda, penempatan sosok Prabowo selevel dengan Tuhan dalam pandangan SBY cukup menarik untuk dikaji. Pertama, klaim SBY bahwa dari perjalannya ke belasan kabupaten, rakyat mencintai Prabowo. Lalu apakah mencintai itu berarti menempatkan Prabowo selevel dengan Tuhan?
“Kedua, SBY mengingatkan kita agar jangan menyakiti rakyat yang ingin Prabowo memimpin bangsa kita. Apakah dengan demikian Prabowo bisa selevel dengan Tuhan?” kata Syahganda.
Menurut Syahganda, engkultusan manusia yang dilakukan SBY terhadap Prabowo saat ini akan berpotensi pada 3 hal: pertama, pengkultusan adalah penyakit anti demokrasi. Sebagai bapak demokrasi di era lalu, harusnya SBY tidak memberi kesan pengkultusan individual. SBY harus konsisten bahwa manusia hanyalah makhluk Tuhan saja yang bisa dikritik.
“Kedua, SBY berpotensi mengecilkan makna protes rakyat yang mengutuk pemilu curang. Protes sosial atas pemilu curang, saat ini, bukanlah kasus biasa. Perasaan rakyat yang terluka saat ini sudah menganga terlalu besar. Saat ini memang kekecewaan rakyat lebih tertuju pada Jokowi, tapi sebagai kaum demokrat, harusnya SBY membuka ruang dialog bahwa kecurangan itu juga dinikmati oleh Prabowo,” tegasnya.
Ketiga, SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya mem back up total Prabowo sebagai manusia selevel Tuhan. Hal ini menunjukkan adanya kesan “jilat menjilat” dalam politik bagi-bagi kekuasaan. Sebuah penurunan makna kekuasaan untuk rakyat.
Selain itu, Syahganda mengatakan, kemenangan Prabowo dengan proses pilpres curang saat ini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Tapi, apapun hasilnya, luka rakyat atas kecurangan itu bukan masalah kuantitatif yang bisa dihitung sebagai residu. Kemarahan rakyat telah bergelombang besar, khususnya dari kalangan kampus, sebagai pusat moral bangsa kita.
Dalam kondisi “power to power conflict” atau keterbelahan rakyat saat ini, SBY meyakini, dalam pidatonya kemarin, bahwa Prabowo adalah pemimpin besar selevel Tuhan yang mampu membawa perbaikan. Perbaikan itu termasuk membuat pemilu yang bersih ke depan. Namun, SBY tidak menyinggung bahwa ada luka saat ini dihati rakyat. SBY juga tidak menyinggung bagaimana bisa membuat pemilu bersih dari kepemimpinan pemilu curang?
Padahal, dalam teori rekonsiliasi konflik, di mana SBY terlibat dalam penyelesaian konflik Ambon, Aceh, Poso dan lainnya di masa lalu, penyelesaian sebuah konflik sosial harus dimulai dengan sebuah pengakuan adanya rakyat terluka. Adanya kecurangan dan manipulasi pilpres. Bukan sok menang sendiri. Sok menang sendiri atau merasa paling benar, bahkan hanya akan memendam dendam yang berkepanjangan.
“Kita tentu tidak bisa berharap pada Jokowi dan rezimnya dalam mengobati luka rakyat. Namun, jika rezim ke depan juga memelihara luka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pergolakan rakyat akan terus berlangsung. Inilah kesalahan terbesar SBY yang tidak membuak ruang refleksi dan dialog,” paparnya.
Seandainya kekuasaan berpindah secara “paksa” dari Jokowi kepada Prabowo ke depan, dengan model kepemimpinan angkuh yang sama, maka rakyat harus mencari jalannya sendiri.
“Pengorganisasian rakyat dalam tema-tema perubahan harus terus dilanjutkan oleh kalangan masyarakat sipil (civil society), baik kalangan kampus, buruh maupun keagamaan. Penggalangan dan pengorganisasian rakyat inilah satu-satunya jalan untuk mengimbagi kekuatan dan kekuasaan yang menindas ke depan. Harus ditanamkan dalam diri rakyat bahwa rezim ke depan adalah rezim curang, tanpa moral,” pungkasnya.