Jakarta – Pelaksanaan Pilpres pada 14 Februari 2024 baru saja selesai. Dalam hitungan jam saja, sudah ada deklarasi pemenangan dari pasangan 2, Prabowo Gibran, yang dilaksanakan di Istora Senayan Jakarta dengan meriah dan nyaris tanpa cela.
Padahal, hampir dipastikan semua TPS di seluruh tanah air masih melangsungkan penghitungan suara hingga dini hari.
Ada hal sangat menarik apa yang dilakukan pasangan Prabowo Gibran lebih dulu mengklaim sebagai pemenang kontestasi Pilpres 2024 padahal jumlah suara dari sejumlah TPS yang dilansir sejumlah media hitung cepat dan ditayangkan langsung media televisi nasional, Quick count dijadikan sebagai media resmi penentu pemenangan pasangan capres.
Hal ini seperti mengulang kejadian pada Pilpres 2014 dan 2019 yang ternyata versi hitung manual KPU justru dimenangkan Capres yang dua kali dikalahkan lewat Quick Count, Prabowo Subianto.
Menarik ditelisik, sebenarnya apakah diperlukan hitung cepat digunakan di dalam setiap Pilpres atau dilarang saja? Mengingat bahaya besar propaganda hingga bisa memicu kerusuhan massal antara pendukung yang kalah dan menang gara – gara penggunaan hitung cepat.
Terkait soal Quick count tersebut, Pengamat Intelijen dan Geostrategi Amir Hamzah menyatakan, dirinya dan beberapa teman khususnya yang tergabung dalam Hisbullah Indonesia tidak terlalu perduli dengan Pilpres. Sebab Pilpres ini hanya akan melahirkan pergantian penguasa semata.
Menurut Amir, padahal yang kita perlukan saat ini adalah pergantian sistim yaitu dengan kembali memberlakukan UUD yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
Sudah menjadi rahasia umum seperti apa yang pernah diulas oleh beberapa pakar dan analis politik, demi mempertahankan kepentingan oligarki dan membangun dinasti politik nepotisme maka sejak awal sudah diskenariokan siapa yang akan jadi pemenang dalam pilpres itu.
Inilah masalah yang kita lihat bermunculan setelah berakhirnya acara pencoblosan di TPS seluruh Indonesia pada Rabu (14/2/2024).
“Untuk mendukung skenario pemenangan pasangan tertentu maka disitulah diperlukan peranan lembaga survey untuk mendukung realisasi skenario tadi. Karena skenarionya adalah untuk memenangkan Paslon Nomor 2 maka lembaga – lembaga survey itu mempublikasikan hasilnya untuk mendukung skenario tadi,” beber Amir.
Skenario ini juga sekaligus diharapkan agar Pilpres hanya berlangsung dalam 1 putaran. Namun karena Quick Count bukan bagian dari sistim Pilpres maka hasilnya tidak bisa dipakai penentu kebijakan untuk menetapkan siapa pemenang Pilpres.
“Jadi apabila sekarang pasangan paslon nomor 2 telah merasa dirinya sebagai pemenang maka hal ini patut dipertanyakan. Apalagi dalam penjelasan Prabowo yang pernah dipublikasikan beliau pernah menyatakan ketidakpercayaannya kepada lembaga survey,” terang Amir.
Karena menurutnya hasil dari lembaga survey selalu disesuaikan dengan keinginan yang membayar.
Di sisi lain, masih kata Amir, paslon nomor 1 dan paslon nomor 3 juga punya komponen khusus untuk melakukan Quick Count yang hasilnya sangat berbeda dengan hasil Quick Count paslon nomor 2.
Hal inilah yang harus diwaspadai kelompok paslon nomor 2 karena selain memperoleh hasil yang berbeda paslon nomor 1 juga menemukan data yang cukup valid mengenai berbagai pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh petugas TPS/KPPS, oknum oknum yang ada dalam otoritas KPU maupun beberapa kepala desa dan pejabat pejabat pemerintah dalam lingkungan Kemendagri yang telah melakukan Mark up terhadap jumlah suara pemilih paslon nomor 2 yang justru dipakai oleh lembaga survei pendukung paslon nomor 2 dalam mengumumkan hasil Quick count.
“Mereka yang memperhatikan gejala ini, pasti akan mengakui keunggulan Tim Intel 01, karena sepanjang pengamatan saya 2 X 24 jam sebelum hari H, melalui operasi Intelijen teritorial yang sangat handal sehingga mereka sudah dapat mengetahui indikasi kecurangan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk memenangkan paslon nomor 2,” beber Amir.
Mengamati hasil kerja Tim Intel Paslon 01, Amir menandaskan, khususnya pola Quick Count kendali internal yang mereka lakukan maka Pilpres tidak mungkin berlangsung 1 putaran. Sehingga apabila rejim okigarki tetap berkeras kepala agar Pilpres berlangsung 1 putaran maka kita harus siap untuk menghadapi situasi yang bukan saja akan mengganggu stabilitas nasional tapi juga akan mempertajam munculnya disitegrasi bangsa. * man