KPU Langgar Kode Etik: Pencalonan Gibran Cacat Moral, Etika dan Hukum, Mengakibatkan Ketidakpastian Politik

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden 2024-2029 diwarnai pelanggaran etika lagi. Untuk yang kedua kalinya. Pencalonan ini sangat dipaksakan, dengan menentang demokrasi.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan, Ketua Mahkamah konstitusi Anwar Usman, yang juga paman Gibran, atau adik ipar Joko Widodo, melanggar kode etik berat, terkait uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Kali ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan, seluruh anggota komisioner KPU melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, terkait pendaftaran Gibran sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Untuk itu, DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada seluruh anggota komisioner KPU. Khusus kepada Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, DKPP memberi sanksi Peringatan Keras Terakhir.

Peringatan Keras Terakhir? Sungguh aneh. Memang ada berapa banyak Peringatan Keras?

Sanksi dari DKPP ini terkesan main-main. Tidak serius. DKPP seharusnya memberhentikan, setidak-tidaknya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

Karena, pelanggaran kode etik komisioner KPU kali ini bukan masalah kode etik semata, yang hanya menyangkut persoalan pribadi, seperti pelanggaran moral dan etika Ketua KPU dengan “wanita emas” Hasnaeni, yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap suksesi kepemimpinan nasional.

Tetapi, pelanggaran Kode Etik para komisioner KPU kali ini sangat serius, karena menyangkut pelanggaran peraturan dan undang-undang, dengan dampak sangat serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan persidangan DKPP, KPU terbukti melanggar Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, Pasal 13 ayat (1) huruf q, tentang Persyaratan Calon yang berbunyi, calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun. Pada saat pendaftaran bakal calon Wakil Presiden, Gibran tidak memenuhi Persyaratan Calon, sehingga KPU seharusnya tidak menerima pendaftaran Gibran. Dengan kata lain, pendaftaran Gibran menjadi cacat hukum, alias tidak sah.

Pelanggaran terhadap Peraturan KPU secara otomatis juga melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena, Peraturan KPU merupakan pelaksanaan Undang-Undang Pemilu, seperti diatur di Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU.

(2) Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Semua alasan KPU untuk membenarkan pendaftaran pencalonan Gibran, terbantahkan dalam persidangan DKPP. Alasan, Putusan MK “bersifat final”, juga tidak bisa menjadi alasan untuk melanggar Peraturan KPU dan Undang-Undang Pemilu.

Karena, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023, yang meloloskan Gibran menjadi calon Wakil Presiden, masih bermasalah hukum. Putusan tersebut digugat masyarakat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) karena juga (terindikasi) melanggar moral, etika dan hukum.

Majelis Kehormatan MK mulai memeriksa para hakim Konstitusi pada 31 Oktober 2023, dan membacakan hasil pemeriksaan atau putusan Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.

Selama periode pemeriksaan (31 Oktober – 7 November 2023), nasib Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak pasti. Karena, menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, Putusan MK tersebut bisa (masuk akal) dibatalkan. Hal ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada 2 November 2023, seperti dimuat di berbagai media, antara lain cnnindonesia dot com di bawah ini.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231102064044-12-1018912/jimly-anggap-masuk-akal-jika-putusan-mk-syarat-cawapres-dibatalkan

Berdasarkan fakta ini, tindakan KPU menerima pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden pada 25 Oktober 2023, dan mengubah Peraturan KPU pada 3 November 2023 jelas melanggar peraturan perundang-undangan.

Termasuk melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum No 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, yang bersumber dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan juga Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Putusan KPU menerima pencalonan Gibran dengan menggunakan Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, dan kemudian diubah dengan Peraturan KPU No 23 Tahun 2023, sebelum ada Putusan sidang Majelis Kehormatan MK (pada 7 November 2023), merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius, karena mengakibatkan ketidakpastian hukum terkait Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Karena, tidak tertutup kemungkinan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tersebut bisa dibatalkan, seperti diucapkan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK pada 2 November 2023.

Karena itu, sanksi Peringatan Keras yang diberikan kepada para komisioner KPU sangat tidak adil. Mereka seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat, karena tidak mempunyai legitimasi lagi sebagai Penyelenggara Pemilu.

Selain itu, pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden menjadi cacat moral, cacat etika, dan juga cacat hukum. Cacat di Mahkamah Konstitusi, dan cacat di KPU.

Semua ini akan memicu ketidakpastian politik. Legitimasi pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden akan selalu dipertanyakan dan dipertentangkan.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News