Membangun Kedewasaan dalam Pemilu

Oleh: Ahmad Basri (K3PP Tubaba Alumni UMY).

Pilpres 2024 hanyalah menghitung hari, tepatnya 14 februari ini, pesta demokrasi akan dilaksanakan termasuk memilih wakil rakyat dari berbagai tingkatan. Paling ditunggu – tunggu tentu pilpres, siapa yang sesungguhnya akan terpilih menjadi presiden pengganti Jokowi.

Jika terjadi satu putaran 14 februari ini dengan meraih suara 50 % + 1 diantara calon maka putaran ke dua tentu ditiadakan. Prediksi pengamat politik pilpres kemungkinan besar dua putaran. Argumen tersebut dilandasi oleh survei bahwa, selama survei diadakan tidak ada capres yang memiliki elektabilitas di atas 50 persen suara.

Jika sedikit menelah pilpres 2024 setidaknya lebih maju dibandingkan dengan pilpres 2014 dan 2019, khusus dalam menempatkan narasi dukung mendukung diantara para calon. Setidaknya publik – masyarakat kini semakin cerdas untuk tidak terlalu ‘ fanatik ‘ berlebihan terhadap kandidat yang menjadi pilihan.

Pemilu pilpres 2014 – 2019 misalkan perang ‘ hoax ‘ dimedia khususnya medsos begitu terasa, begitu liar tak terkendali. Seolah – olah cara apapun dilakukan agar memenangkan pertarungan. Berita ‘ hoax ‘ dibangun dengan berbagai narasi yang seolah – olah mewakili sebuah fakta kebenaran tunggal.

Dampak perang ‘ hoax ‘ ruang medsos menjadi gaduh siang dan malam, bak seperti sampah yang bertaburan dengan bau busuk yang begitu menyengat. Seolah – olah tidak ada lagi tempat untuk berpikir jernih melihat pesta demokrasi sebuah kegembiraan.

Polarisasi sosial politik ideologis terbelah begitu tajam ditengah kehidupan masyarakat. Saudara, sahabat,persahabatan, persaudaraan yang dibangun dengan rasa ‘ cinta ‘ bisa luluh lantah dalam seketika hanya karna beda pilihan.

Semua terjebak pada ‘ hoax ‘ yang dikemas oleh berbagai narasi. Peran media yang seyogyanya menjadi ‘ alat ‘ pencerahan publik, menjadi bagian dari pemberitaan ‘ hoax ‘ dengan terlibat langsung dalam arena dukung mendukung.

Dibalik itu semua lahirlah fenomena ‘ buzzerr ‘ menjadi mesin pembunuh nomor satu dalam arena media. Belum lagi keperpihakan ‘ alat ‘ negara yang tidak netral. Pembiaran berbagai macam pelanggaran pemilu oleh penyelenggara pemilu semakin memperkeruh suasana. Pemilu 2014 – 2019 bisa jadi pemilu paling buruk dalam sejarah sistem politik selama ini.

Sejak KPU menempat pasangan capres 2024, kita tak lagi menemukan perang ‘ hoax ‘ begitu masif di tengah masyarakat. Klaupun ada narasi ‘ hoax ‘ yang disebarkan melalui berbagai narasi, guna menyudutkan capres tertentu oleh media atau perorangan, sepertinya tidak lagi mendapatkan tempat untuk ditanggapi gugur dengan sendirinya.

Perang narasi ‘ hoax ‘ memang akan selalu ada untuk mempengaruhi opini publik, seiring dengan kemudahan dan kemajuan teknologi informasi saat ini. Tapi semakin dewasanya publik dalam memahami realitas sosial politik, maka penyebaran informasi yang tidak berlandaskan oleh fakta dan data akan dicampakan oleh publik.

Pemilu 2024 yang hanya sebatas menghitung hari jatuh 14 Februari, setidaknya bisa memberikan gambaran kedewasaan publik, yang semakin menampakkan kedewasaan untuk tidak terjebak sebagaimana pemilu 2014 – 2019. Sesungguhnya publik sudah paham siapa yang pantas untuk dipilih Prabowo, Anies dan Ganjar.

Menariknya hasil dari berbagai lembagai survei yang selalu menempatkan Prabowo diatas Anis dan Ganjar banyak disikapi dengan wajar oleh para pendukung Anis – Ganjar. Tidak terlihat narasi yang begitu tajam ‘ negatif ‘ untuk tidak mengatakan apa yang dihasilkan oleh lembaga survei adalah ‘ hoax ‘.

Ini terlihat dari adanya wacana penjajakan, komunikasi koalisi diantara kubu Anies dan Ganjar, yang semakin inten dilakukan belakangan ini, jika terjadi dua putaran pemilu 2024. Komunikasi penjajakan koalisi bersama Anies – Ganjar, setidak dapat dibaca ‘ pengakuan ‘ terhadap hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei mendekati fakta kebenaran atas suara Prabowo yang selalu unggul sementara.

Tanpa koalisi bersama mustahil mampu mengalahkan suara Prabowo, namun koalisipun tidak memberikan jaminan akan meraih kemenangan, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya. Namun pemilu damai dan mengakui kemenangan diakhir pertandingan itulah yang paling utama.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News