Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
Di tengah globalisasi yang demikian kuat terjadi, sesungguhnya terjadi anomali. Masyarakat yang sangat mudah mengakses teknologi global ternyata dalam sisi yang lain memerlukan akar dan identitas yang kuat. Hal ini setidaknya pernah digambarkan oleh Samuel P. Huntington, ilmuwan politik asal Amerika Serikat, bahwa setelah era Perang Dingin berakhir akan muncul apa yang dinamakan dengan benturan peradaban (clash of civilizations).
Dalam teori Huntington disebutkan bahwa budaya dan agama seseorang akan semakin menguat dan akan mewarnai identitasnya. Walau bingkai teori ini berupa pemetaan konflik antar-peradaban, poin pentingnya berupa adanya kemauan kuat masyarakat untuk semakin memegang identitas diri (termasuk agama) setelah demikian kuat era globalisasi menyatukan bagian-bagian dunia.
Dalam telusur tak begitu jauh berbeda, yakni analisis pertumbuhan kelas menengah baru di Indonesia, terjadi pula hal yang kurang lebih sama. Sejumlah analisis mengatakan bahwa kelas menengah baru Indonesia saat ini mulai diisi kalangan Muslim. Mereka yang bergerak ke tingkat ekonomi lebih tinggi diisi anak-anak muda yang lebih terdidik dan juga lebih religius.
Ada sejumlah definisi yang berbeda-beda tentang kelas menengah. Salah satu definisi yang lebih dekat untuk konteks negara-negara berkembang di Asia adalah definisi dari Asian Development Bank (ADB). ADB (2010) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran per kapita per hari sebesar $2-20. Rentang inilah yang banyak digunakan sebagai parameter untuk mengukur jumlah kelas menengah di Indonesia. Dalam penjelasan ADB, rentang pengeluaran per kapita itu dibagi lagi ke dalam tiga kelompok, yakni masyarakat kelas menengah bawah (lower middle class) dengan pengeluaran per kapita per hari sebesar 2-4 US dolar; kelas menengah tengah (middle middle class) sebesar 4-10 US dolar; dan kelas menengah atas (upper- middle class) sebesar 10-20 US dolar.
Bila dilihat dengan parameter tersebut, kita akan mendapati jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia semakin meningkat. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia terus tumbuh, dari nol persen penduduk pada 1999 menjadi 6,5 persen pada 2011, atau setara dengan lebih dari 130 juta orang.
Data pada 2004 menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia berada pada angka 37 persen dari jumlah penduduk dan meningkat menjadi 56,7 persen pada 2013. Peningkatan ini terus terjadi setiap tahun. Jika ingin melihat lebih riil angkanya, silakan hitung sendiri, berapa 56,7 persen dari 250 juta penduduk Indonesia pada kurun waktu 2013. Angkanya tercatat bisa sebanyak 134 juta, luar biasa bukan? Pada 2030, diperkirakan nanti jumlah kelas menengah Indonesia akan mencapai 141 juta orang. Dengan demikian, dalam satu dasawarsa sesungguhnya telah terjadi mobilitas sosial orang Indonesia yang cukup signifikan.
Karena Indonesia ini dihuni oleh mayoritas Muslim, logis saja bila komposisi kelas menengah didominasi oleh umat Islam. Dan keunikan lain kelas menengah Indonesia adalah justru mobilitas vertikal dari sisi ekonomi ini ternyata dibarengi dengan kenaikan sisi religiusitas. Sejumlah survei menunjukkan bahwa tingkat kesalehan kelas menengah Muslim Indonesia saat ini terus meningkat.
Peningkatan kesalehan yang terjadi seiring dengan naiknya tingkat pendapatan dan kemapanan ekonomi ini dari waktu ke waktu semakin terlihat nyata. Mereka makin kaya tapi juga makin saleh. Sejumlah bisnis yang muncul kini menunjukkan betapa tren kebutuhan masyarakat Muslim kelas menengah tak terbendung perkembangannya. Pada awalnya fashion, terutama busana Muslimah berhijab, lalu berkembang ke arah perbankan syariah, makanan halal, obat-obatan dan kosmetik halal, hotel syariah, spa syariah, organisasi pengelola zakat, infak dan sedekah, hingga terus melebar ke arah bisnis yang memiliki kepedulian (awareness) syariah. Apa yang terjadi pada geliat kelas menengah Muslim ini jelas sangat logis. Negeri in secara statistik dihuni oleh 87 persen umat Islam sehingga ketika di negeri ini jumlah kelas menengah alami peningkatan, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar yang masuk ke kelas menengah dari kalangan umat Islam.
Semakin hari, secara potensi, akan semakin besar kelas menengah Muslim ini dalam kerangka berzakat, infak dan sedekah. Bagi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), sejatinya ini peluang meningkatkan kemampuan menghimpun dukungan dana dari mereka untuk sejumlah program yang ditawarkan.
Apakah secara otomatis dengan meningkatnya kelas menengah Muslim Indonesia lantas penghimpunan OPZ juga naik? Jawabannya belum tentu. Kenapa belum tentu? Karena kelas menengah Indonesia sendiri masih butuh diyakinkan agar mereka percaya pada OPZ yang ada. Kenaikan ekonomi dan kemapanan baru yang dialami kelas menengah Indonesia masih belum menghilangkan kebiasaan mereka, yakni terlibat langsung. Di sisi inilah, peluang besar untuk melibatkan sejumlah kelas menengah Muslim, yakni memberikan ruang untuk bisa berpartisipasi langsung dalam sejumlah program yang digagas oleh OPZ yang mereka percaya. Ruang-ruang ini, selain akan mendekatkan hubungan antara muzaki dengan OPZ, memberikan kepuasan batin tersendiri pada para muzaki. Ruang ini konkretnya berupa partisipasi ide, usulan dan gagasan mereka yang ingin didengar dan diakomodasi dalam perencanaan program OPZ. Semakin ada partisipasi yang luas dan terbuka, akan semakin meningkat dukungan dan loyalitas kelas menengah Muslim.