Partai Ummat mendesak Anwar Usman agar secara sukarela mengundurkan dari Mahkamah Konstitusi karena telah terbukti melakukan pelanggaran etika berat yang mencederai keadilan dan kepatutan di masyarakat.
“Putusan MKMK dianggap putusan setengah hati oleh masyarakat karena hanya memberhentikan Anwar Usman menjadi Ketua MK. Masyarakat berharap MKMK bisa lebih progresif yaitu memberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya sebagai hakim MK,“ Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menjelaskan, Sabtu (11/11/2023).
Karenanya, kata Ridho, seharusnya Anwar Usman tahu diri dan mampu membaca keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia yang mendambakan keadilan. Bukan malah bertahan, merasa diri difitnah, lalu melakukan serangan balik, kata Ridho.
“Sikap legowo memang tidak gampang. Tetapi nurani publik bisa dilihat dari meluasnya desakan agar Anwar Usman secara sukarela mengundurkan diri agar MK bersih dan kembali mendapatkan marwahnya sebagai penjaga konstitusi,” kata Ridho.
Desakan Partai Ummat agar Anwar Usman mengundurkan diri sejalan dengan tuntutan Muhammadiyah, MUI, Koalisi Masyarakat Sipil, PGI, dan sejumlah lembaga dan tokoh masyarakat lainnya. Kata Ridho, desakan tersebut sangat masuk akal dan bisa memenuhi keadilan publik yang semakin jarang ditemukan selama Jokowi berkuasa.
“Seharusnya Anwar Usman dicopot dari statusnya sebagai hakim konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran berat yaitu melanggar asas imparsialitas, independensi dan integritas,” kata Ridho.
Uji Materi Putusan Cacat
Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi dengan ketua yang baru segera menyidangkan gugatan atau uji materi untuk menguji putusan sebelumnya yang penuh cacat dan dianggap tidak layak untuk diterapkan.
“Seperti diketahui, sudah ada gugatan masuk ke MK untuk menguji putusan yang cacat tersebut. Partai Ummat mendorong MK agar segera bersidang dan memutuskan perkara tersebut sebelum penetapan capres dan cawapres pada 13 November,” kata Ridho.
Ridho mengatakan tanggal 13 November menjadi deadline pengumuman keputusan yang baru karena capres dan cawapres bisa diganti sebelum ditetapkan oleh KPU. Namun bila mundur atau ditarik oleh partai politik setelah pengumuman, maka akan dikenakan sanksi sesuai UU 7/2017 tentang Pemilu yang ancamannya pidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 50 miliar.
“Kita yakin MK yang baru bisa mengejar deadline. Ini akan menenteramkan publik yang sudah kadung tidak percaya pada MK,“ kata Ridho.
Dugaan Pidana Anwar Usman
Tidak cuma itu, kata Ridho, Partai Ummat juga mendesak agar Polda Metro Jaya segera memproses laporan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Anwar Usman yang dilaporkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) pada Kamis, 2 November lalu.
“Sejauh yang kami ikuti, TPUA melaporkan Anwar Usman berdasarkan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TPUA menduga ada nepotisme dalam keputusan Anwar Usman tersebut karena Gibran adalah keponakan Anwar sendiri,” kata Ridho.
Lebih lanjut Ridho mengatakan Polda Metro Jaya harus segera memproses laporan TPUA agar menjadi jelas hubungan antara keputusan Anwar Usman tersebut dengan berhasilnya Gibran menjadi cawapres yang dianggap penuh bernuansa nepotisme.
“Bila Polda Metro Jaya berani mengemban tugas untuk memeriksa Ketua KPK Firli Bahuri atas dugaan penyuapan oleh Syahrul Yasin Limpo, apa yang akan menjadi kendala untuk memeriksa Anwar Usman? Jadi Partai Ummat memberikan dorongan moral agar Polda Metro Jaya melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya,” kata Ridho.