By Eko S Dananjaya*
Jika kita percaya konsep ramalan Jayabaya tentang pandangannya soal Notonegoro. Maka masyarakat Jawa sekarang ini sedang mengalami disorientasi. Ramalan Jayabaya yang sebenarnya di ceritakan dalam kitab Musasar yang digubah oleh sunan Prapen dari masa Giri kedaton.
Beberapa pesan Jayabaya yang terkenal dan diindoktrinasikan kepada masyarakat Jawa pada masa itu antara lain:
Sesuk nek wis ana kreta tanpa jaran.
Tanah jowo kalungan wesi.
Prahu mlaku ing duwur awang- awang.
Kali ilang kedunge.
Yang artinya kira- kira seperti ini.
Kelak jika ada kereta tanpa kuda.
Pulau Jawa berkalung besi
Perahu jalan di angkasa.
Sungai kehilangan mata air.
Dari ketiga bait Jayabaya dari awal sampai ke tiga itu telah menjadi komponen infrastruktur negara. Dari “kelak jika ada kereta hingga perahu jalan diangkasa”. Merupakan implementasi dari sebuah produk nalar modernitas di jamannya, dimana kasunyatan itu terjadi.
Sejak hadirnya penjajah Belanda di tanah Nusantara, telah di buktikan bahwasanya, kemajuan di bidang persenjataan, trasnportasi dan telekomunikasi darat, laut, udara benar nyata. Empat sabda pada bait terakhir dari Jayabaya itu di sinyalemen sebagai pondasi dasar bernegara, yang kini suasananya sudah sangat mengkawatirkan. Bangsa Indonesia kini sedang mengalalami disorientasi kerapuhan dalam berbangsa dan bernegara. Bait ” Kali ilang kedunge “, telah menjadi krisis entitas dalam realitas sosial masyarakat kita. Sungai kehilangan mata air alias kering kerontang yang jika kita terjemahkan dalam filosofi moderen, masuk pada perdebatan soal kosmologi peradaban. Orang Indonesia sekarang sudah masuk dalam fase terakhir, the end of Civilization.
Konsep Jayabaya dalam berkerajaan sejak jaman ia memimpin kerajaan Kediri. Bernard H.M Vlekke sejarawan sekaligus ahli geografi asal Belanda. Telah mempublikasikan lewat tulisannya yakni Nusantara: sejarah Indonesia, terbit thn 1943. Dipercayai oleh Vlekke bahwa Jayabaya memerintah pada tahun 1135 – 1157 Masehi. Pondasi ketatanegaraan era Jayabaya diyakini oleh keturunannya dari wangsa Kediri kemudian menjadi Majapahit, Demak, Pajang hingga Mataram Islam. Yang berakhir pada kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta.
Prolog – epilog konsep Notonegoro adalah konsep politik kejayaan yang selaras dengan hitungan generasi kepemimpinan dalam negara.
Soekarno hingga Joko Widodo, telah mengalami proses dinamika kecenderungan perjalanan konsep Jayabaya itu. Ada beberapa kepala negara yang ingkar akan konsep Notonegoro. Karenanya, rakyat akan menjadi korban keserakahan kekuasaan dan kewadalan pemimpin yang opurtunistik. Akibat opurtunistik itu maka gejolak sosial tak bisa dihindari. Peradaban sosial yang dibangun dengan “Perjuangan dan Kemerdekaan” Itu bergeser seketika saat pemimpin kembali pada praktek lmonarki. Sistem republikan yang di perjuangkan dengan merebut kemerdekaan itu pada akhirnya sirna. Karena pemimpin negara tidak konsisten menjalankan rule of law dengan baik. Yang terjadi adalah denial of law. Pengingkaran mandat ini yang kemudian keluar dari konsep Notonegoro. Sehingga negara terus menerus mengalami kegoncangan, bahkan kemunduran.
NoTo – Ne – GoRo : konsep ini jika di simplistiskan sebagai kepercayaan orang Jawa turun temurun sebagai konsep pararaton. Menjadi konsep tata negara ke Indonesiaan rasa Jawa. Presiden Soekarno pernah cacat politik karena dirinya tidak menolak di nobatkan sebagai Presiden seumur hidup. Demikian juga Soeharto. Lengser dari kekuasaan karena terlampau lama memimpin Indonesia. Rakyat jenuh dan bosan, ingin ada pergantian kepemimpinan. No – To : Soekarno – Soeharto, terjengkang dari kursi kekuasaan karena mengingkari cita- cita perjuangan dan pembatasan kekuasaan. Praktek dalam berkuasa dapat di ilustrasikan oleh intelektual dan politisi Dr Muhammad A.S Hikam dalam bukunya, ” Kekuasaan itu bagaikan api”.(Postkota Pontianak may 31,2023 ).
Konsep Raja Jayabaya pada akhirnya berhenti pada No -To. Karena dikhianati oleh seorang pemimpin atau presiden yang menyalahgunakan kekuasaan. The country is mine. Baik monarki Indonesia rasa Jawa maupun monarki Eropa, tampaknya memiliki problematika yang hampir sama. Ini yang kemudian kali pertama gagasan Trias Politica yang di kemukakan oleh seorang filsuf Inggris bernama John Lock. Yang kemudian gagasan John Lock tersebut pdi kembangkan oleh Montesquieu dalam catatannya, L’ Esprit Des Lois. Konsep ini membagi suatu pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yakni : Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. ( w https://id.m wikipedia. org >wiki )
Pelanggaran penguasa itu disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah ambisi pribadi atau dominasi keluarga. Konsep Trias Politika kemudian di anulir oleh penguasa untuk dijadikan alasan meneruskan kekuasaan. Baik Noto Negoro maupun Trias Politika pada akhirnya runtuh ketika penguasa menjadi tamak, rakus kekuasaan. Dan ketamakan itu sedang berlangung pada penguasa hari ini.
Praktek kekuassan yang berdasarkan the country is mine berakibat pada kehancufan pondasi Ketatanegaraan. Hukum ditabrak dan diperkosa dengan tangan besi kekuasaan. Demokrasi mandeg karena di politisasi secara buruk. Wajah kekuasaan menjadi beringas dan buruk akibat ambisius penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, akan mengakibatkan kemerosotan dan lemahnya spirit bangsa. Mengapa?
Karena konsep yang di tanamkan kepada masyarakat Jawa oleh Jayabaya dipangkas oleh Jokowi dengan menggunakan demokrasi sebagai landasan moderen, tapi prakteknya monarki. Landasan bertata negara hanya sampai pada kata Noto dan mandeg pada Negoro.
Sinyalemen Noto yang diartikulasi oleh orang Jawa sebagai keyakinan nama untuk ” menata , mengatur, memimpin ” . Telah dijerumuskan pada siasat peradaban yang kacau balau. Noto yang seharusnya menata, memimpin kini menjadi memaksa. Memaksakan kehendak dari napsu angkara murka yang kalau dalam siasat pewayangan dapat dikatakan sebagai sifat Dasamuka. Situasi sekarang ini menggambarkan pada realitas buruk. Kata Negoro, sengaja diamandemen oleh sifat dan tabiat para pemimpin negara untuk mengamputasi kesejahteraan rakyat. Ada kemandegan pada kata Negoro. Itu disebabkan karena para pemimpin berkali- kali mengalami demoralisasi. Dan pada akhirnya menjadi pemimpin yang berkhianat pada rakyatnya.
Dalam bisik- bisik masyarakat Jawa demoralisasi raja atau pemimpin itu di sebabkan oleh keserakahan dan kebiadaban cara memimpin rakyatnya.
Keterputusan kata “Noto” yang tidak ada berkelanjutannya pada “Negoro” merupakan kutukan dewa polis yaitu dewa yang selalu melindungi warga negaranya. Itu dapat di jelaskan pada sastra yunani kuno yang mengklaim bahwa dewa Polis adalah dewa yang senantiasa melindungi negaranya. (Wikipedia , dewa pelindung negara kota Yunani) . Tapi di negara ini tidak kita temukan negara polis sebagaimana rakyat citakan. Kalau dalam dongeng Jawa, prabu Dasamuka itu berwatak sebaliknya dari dewa Polis. Dasamuka berwatak bengis, kejam dan serakah. Ia mendahulukan kepentingan dirinya, keluarganya. Dan rakyat banyak sambat dan merasa menderita karena ulah Dasamuka.
Ne – Go – Ro
Ada keterputusan kekuasaan setelah jatuhnya Soekarno dan lengsernya Soeharto. Setelah NoTo, atmosfir kekuasaan bergeser pada (Ne) yang itu dapat di ilustrasikan sebagai transisi kekuassan yang powerless. Ketidakberdayaan dalam bernegara. Ketika BJ Habibie menggantikan Soeharto. Demikian pula Abdul Rahman Wahid (Gusdur) memimpin negara yang berhenti ditengah jalan. Kemudian di gantikan Megawati Soekarno Putri. Merupakan kecelakaan politik yang secara logika tidak masuk nalar. Tapi realitasnya gonjang ganjing politik pada saat itu harus terjawab seperti itu. Fase ini yang kemudian diyakini oleh penganut paham Noto Negoro-isme sebagai pemahaman kultur kekuasaan yang akan berjalan sesuai sabda Jayabaya.
Sedang GoRo, merupakan fase dimana the end of Civilization, di akhiri oleh kekuasaan Joko Widodo yang sesungguhnya keluar dari pakem teoritik ke Indonesia- an. Karena era sekarang telah dijungkirbalikkan oleh penguasa yang tidak me jalankan konstitusi dengan baik dan benar. Demokrasi dan hukum dijadikan budak kekuasaan. Dan peradaban di hancurkan de ngan memutar balik hukum serta membangun narasi pembenaran. Peradaban di sangkur dengan mobilisasi buzer sehingga bangsa menjadi cemas dan rusak. Era kerusakan yang maha dahsyat ini sudah tidak dapat ditatap dengan mata sehat. Karena peradaban telah terkoyak. Inilah yang kemudian masuk pada fase “GoRo”. Yakni fase yang menandakan terjadinya Goro- Goro atau untran- untran. Dimana separuh rakyat Indonesia mengalami hidup tidak nyaman, was- was dan ketidak pastian. Itu semua akibat terkoyaknya peradaban dan dilukainya nilai- nilai kebenaran .
Fenomena kerusakan peradaban itu kemudian timbul alternatif pemimpin baru yang keluar dari teori kembalinya konsep keseimbangan. Akibat gonjang ganjing dan carut marut kekuasaan maka akan lahir tokoh panutan yang tidak terjebak pada perebutan kekuasaan yang penuh intrik dan pengkhianatan. Dalam cerita pewayangan tokoh tersebut tidak lain adalah Yudhistira. Gambaran nyatanya adalah Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar. Yang memiliki karakter dingin, sejuk, senang perdamaian dan tidak suka berkonflik. Mereka ini ibarat Yudhistira yang membawa sifat sebagai juru damai. Jauh dari konflik perebutan kekuasaan dengan cara – cara menghalalkan segala cara. Menabrak kontitusi, menjual negara, merusak demokrasi dan memiliki mental budak asing. Yudhistira adalah berwatak bijaksana dan tidak pernah bohong, apalagi berbohong kepada seluruh isi negri Amarta.
*Penulis adalah
Penasehat relawan AB Ningrat Indonesia Yogyakarya dan FPN : Front Pergererakan Nasional.