Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Mengharapkan Jokowi untuk tidak cawe-cawe dan netral dalam Pemilu 2024, adalah seperti mengharapkan dinginnya bara api.
Walaupun Jokowi ketika menjamu makan siang di istana 3 bacapres (Prabowo, Anies dan Ganjar) telah menyanggupi untuk bertindak netral dalam Pilpres dan Pileg 2024, demikian juga ketika Jokowi menerima para Kepala Daerah dari seluruh Indonesia dia meminta kepada para Kepala Daerah dan ASN untuk netral dan tidak memihak, tapi justru rekam jejak Jokowi menunjukkan kalau yang terjadi selalu sebaliknya. Sehingga rakyat menafsirkan ucapan Jokowi dengan cara terbalik, yaitu Jokowi tidak akan netral.
Sebagai bukti, ketika di istana Jokowi menyatakan akan netral, di luar sana ada ajakan Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi (Wamendes PDTT) Paiman Raharjo untuk memenangkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka.
Ajakan ini dinilai tidak etis, mengingat jabatannya sebagai bagian dari pemerintah.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menyayangkan bila aksi yang diduga dilakukan Paiman adalah bukti dari kecurigaan awal terhadap pemilu yang akan berjalan tidak imbang.
Memahami Jokowi bukan dari apa yang dikatakan, tapi dari apa yang telah dilakukan.
Barangkali karena Jokowi selama ini terlalu banyak dosa politik terhadap rakyat, sehingga dia selalu dihantui rasa bersalah yang tidak kunjung berakhir. Jokowi dengan menggunakan kekuasaannya akan mencari jalan penyelamatan diri dan keluarganya setelah lengser nanti. Sebelum ada jaminan kepastian dari Presiden berikutnya yang akan melindunginya, Jokowi tidak akan pernah tenang. Walaupun yang dilakukannya harus menghancurkan tatanan yang audah ada dan mengorbankan rakyat banyak.
Ada beberapa indikator kalau Jokowi tidak bakal netral, alias bakal tetap melakukan kecurangan :
Pertama, sikap cawe-cawe Jokowi sampai saat ini sudah terbukti nyata.
Mulai dari meng- endorse capres tertentu, menyandera para ketum parpol, terus berupaya menjegal Anies, sampai ikut terlibat dengan putusan KPU dan MK.
Kedua, “mengkudeta” partai PSI demi ambisi politik dinasti.
Pergantian Ketum PSI sangat tidak lazim, hanya dengan mantra “bim.salabim” Kaesang yang visi misi saja gak paham bisa otomatis jadi Ketumnya.
Ketiga, memaksakan Gibran yang masih ingusan, kurang wawasan, zero prestasi dan diduga terlibat korupsi dan penyalahgunaan wewenang
Secara persyaratan qualifikasi, kompetensi, integritas, wawasan, keteladanan, jujur dan bersih, dll. Gibran sama sekali belum layak menjadi pemimpin nasional. Bukankah dia jadi walikota Solo baru dua tahun, dan banyak kebijakannya yang ditopang dari pusat. Di kemanakan akal sehat para pendukung Gibran ?
Keempat, Putusan MK tentang batas usia capres/cawapres secara vulgar menunjukkan adanya KKN
Jika diamati dari kacamata awam saja putusan MK sudah cacat, sangat nampak konspirasi politiknya, apalagi ditinjau dari sudut pandang hukum tata negara. Tidak heran jika tidak kurang dari 16 guru besar bidang hukum yang ramai-ramai memprotesnya. Tapi Jokowi seperti lepas tangan dari permasalahan ini.
Kelima, dilihat dari alur dan teknik penyelenggaraan Pemilu 2024, Jokowi diduga telah mengintervensi KPU terhadap celah-celah kecurangan hampir di semua lini.
Di tengah upaya digitalisasi semua birokrasi pemerintahan, tapi kotak suara masih pakai kardus. Bukankah di Pilpres 2019 kotak kardus ini telah disalahgunakan ? Demikian juga tentang banyaknya pemilih siluman, pemilih ganda, format C satu yang telah dicoblos, panitia yang licik dan curang, aparat yang memihak, dan berbagai tindakan yang tidak transparan.
Jadi, masih percayakah omongan Jokowi yang akan menjaga netralitas di Pilpres 2024. Jika sampai Anies kalah karena dicurangi, mungkin langkah “menghentikan” arogansi Jokowi sudah terlambat, karena secara legalalitas hukum keputusan KPU sah, dan jika akan diadukan ke MK maka di MK sudah disiapkan keputusannya. Anies bisa jadi tetap kalah.
Menghadapi seorang Jokowi yang sangat licik dan culas, maka jalan terbaik jika Jokowi tidak mau mundur maka harus dilengserkan. Jika PDIP, PKS, PKB dan Nasdem bergabung prosentase suara menjadi 54% sudah cukup untuk melengserkan Jokowi.
Terlalu mahal jika harus dilakukan people power. Tapi people power masih lebih pasti untuk memutus rantai oligarki taipan daripada menanti pemilu yang dipastikan akan curang.
Bandung, 19 R. Akhir 1445