Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)
“Ketika gedung dan tampilan fisik lembaga zakat sudah mengarah pada wujud sebuah kantor bank, ternyata nasib dan pendapatan amilnya masih belum mengarah ke sana, masih jauh dari kelas pegawai bank.”
Pernyataan di atas dilontarkan bukan satu-dua orang amil zakat. Saya merenung sekian waktu: ada masalah apa sebenarnya dengan nasib amil? Apakah para pembuat kebijakan di organisasi pengelola zakat tahu bahwa ada keluhan di tingkat karyawan atau pegawai (amil) terkait dengan nasib mereka? Apa masalahnya soal pendapatan amil yang belum bisa menutup kebutuhan harian mereka atau justru ada masalah lain?
Di sisi lain, masalah gap pendapatan di lingkungan amil juga berbeda setiap lembaga. Apalagi soal size dan level lembaga, juga tak sama. Jadi, jelas tak bisa disamaratakan nasib amil di sejumlah lembaga. Di luar pembicaraan ini, tak sedikit amil zakat yang tetap ikhlas menjalani aktivitasnya tanpa terpengaruh soal pendapatan.
Pendapatan terkait dengan kesejahteraan. Selama ini kesejahteraan merupakan impian dan harapan bagi setiap manusia yang hidup di muka bumi termasuk amil. Apalagi amil bekerja di lembaga zakat yang besar seperti Baznas, IZI maupun lainnya. Faktanya tidak seindah itu. Ada kode etik, kepatuhan syariah yang harus dipenuhi.
Lembaga zakat harus membangun nilai terlebih dulu sebelum memberikan kesejahteraan bagi amil. Nilai akan mengawasi amil secara baik.
Adapun urgensi kesejahteran amil dalam jangka pendek agar fokus bekerja, tenang dan produktif. Urgensi kesejahteraan jangka menengah yaitu sustainability kinerja, peningkatan target dan capaian organisasi. Urgensi kesejahteraan amil jangka panjang sustainability lembaga, mendorong produktivitas kemajuan dan umat.