MUI dan Kepemimpinan Jokowi

Ahmad Basri, Ketua K3PP – Tubaba Dan Alumny HI UMY

Mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi, dikemukakan oleh MUI / Majelis Ulama Indonesia, yang disampaikan dalam press releasenya, pada Rabu 20 September 2023. Tentu ini menarik pernyataan tersebut, sebab yang menyatakan sikap tersebut adalah MUI yang merupakan ” kumpulan ” orang – orang yang terpilih dalam masalah keilmuan agama. Kita ketahui bahwa MUI mewakili berbagai unsur lembaga sosial keagamaan yang ada di Indonesia (NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al Washilayah, Mut’la Ul Anwar, PDTI, DMI, Al Itthadiyah).

Setidaknya dengan adanya pernyataan sikap mosi tidak percaya, atas kepemimpinan Presiden Jokowi, memberikan makna bahwa, bisa jadi moralitas politis spritual kepemimpinan seorang Jokowi, sebagai Presiden tidak lagi memiliki makna apapun. Ada beberapa poin penting pernyataan mosi tidak percaya MUI, atas kepemimpinan Presiden Jokowi

Keperpihakan terhadap dan ketergantungan pada kepentingan oligarkhi, pengurasan kekayaan sumber daya alam yang begitu masif tanpa terkendali, ketergantungan terhadap China yang terus menerus dalam investasi, hutang luar negri yang ugal – ugalan, ketidak pedulian terhadap kehidupan rakyat bawah (masa bodoh), pembangunan IKN merusak segala macam kearipan likal, UU Hak Cipta Kerja yang memiskin kehidupan buruh.

Poin – poin tersebut yang menjadi catatan kritis MUI, atas kebijakan politik ekonomi pembangunan Presiden Jokowi, yang dinilai telah memarginalkan pengorbanan pada derita penderitaan rakyat Indonesia, dan mengarah hilangnya kedaulatan NKRI. Kedekatan pada investasi China yang begitu besar, yang menggusur rasa keadilan kehidupan rakyat, dalam kasus Rempang, Batam, Riau misalkan, setidak memberi penegasan atas kegagalan kepemimpinan Presiden Jokowi. Disertai segudang janji – janji manis namun palsu hampir 9 tahun lebih sebagai Presiden.

Mosi tidak percaya atas pernyataan MUI terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi, hemat penulis, seharusnya sudah dikeluarkan sejak dahulu bukan saat ini. Dalam periode pertama kepemimpinannya, gejala ketidak mampuannya sebagai Presiden, sesunggguhnya sudah begitu jelas terang benderang. Bagaimana misalkan, sikap kebijakan yang seharusnya menjadi hak dan tanggung jawabnya sebagai presiden diberikan seluas – luasnya kepada satu menteri bernama LBP.

Publik tentu melihat itu semua sebuah bentuk dari lemah dan ketidak mampuan leandership seorang Jokowi sebagai Presiden. Presiden ” boneka ” menjadi konsekuensi dari penilaian publik pada akhirnya. Menariknya, berbagai kritik pendapat dari berbagai kalangan masyarakat, sudah sering terdengar, atas gaya kepemimpinan Presiden Jokowi yang tidak memiliki ” rasa ” nasionalisme kebangsaan.

Walaupun pada akhirnya MUI, memberikan pernyataan sikap mosi tidak percaya, atas kepemimpinn Presiden Jokowi diakhir kekuasaan 2024, yang dianggap dinilai gagal, setidaknya memberi ruang publik bahwa, apa yang dikemukan oleh MUI harus dapat dipahami sebuah bentuk tanggung jawab moral para pemimpin agama. Bisa jadi pernyataan mosi tidak percaya, atas kepemimpinan Presiden Jokowi, yang di sampaikan oleh MUI, dianggap memiliki pesan muatan politik oleh sebagian orang.

Namun argumen tersebut tentu sah – sah saja akan tetapi argumen tersebut tentu sangatlah lemah. Mengapa sangat lemah satu alasannya bahwa, Presiden Jokowi bukanlah sebagai calon presiden untuk 2024. Jika Presiden Jokowi juga merupakan calon presiden 2024, tentu pernyataan MUI bisa mengandung arti politis dan bisa dibantah. Ini yang harus dipahami bagi mereka yang menolak sikap dari pandangan MUI.

Hemat penulis, apa yang dikemukakan oleh MUI, sesungguhnya merupakan sebuah rasa tanggung jawab moral para ” tokoh ” agama, akan perjalanan bangsa selama ini di bawa kepemimpinan Presiden Jokowi. Inipun mempertegas bahwa peran agama, yang diwakilkan oleh para tokoh agama, tidk bisa dipisakan dari kehidupan politik kebangsaan apapun bentuknya. Kebijakan politik ekonomi pembangunan ” dzolim ” harus dilawan dan ditentang bersama – sama.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak menganut paham sistem sekulerisme, yang mana agama dan politik pemerintahan harus dipisahkan. Sedang paham sekulerisme selalu menempatkan diatmetral yang tegas agama dan politik pemerintahan harus dipisahkan. Paham sekulerisme selalu menempatkan diksi bahwa, agama adalah wilayah privasi yang tidak bisa masuk ranah publik.

Kaum agamawan tidak boleh berdiam diri apalagi menghindari ketika kekuasaan jabatan tidak memberikan sikap amanah dari seorang pemimpin. Apa yang sudah dilakukan oleh MUI setidaknya memberikan sikap education politik spritual bahwa, apapunnya kedzoliman harus disikapi dengan konsep bingkai amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana pesan Allah Swt. berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 104, hendaklah ada di antara kamu orang-orang yang selalu mengajak orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News