Oleh : Ahmad Khozinudin (Sastrawan Politik)
Pengumuman pencapresan Anies Baswedan yang dipasangkan dengan Cak Imin, sejatinya tidak hanya mengejutkan partai Demokrat, melainkan juga PKS. Pasalnya, PKS adalah partai yang juga sejak awal bersama NasDem dan Demokrat mengusung Anies sebagai Capres melalui koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Bahkan, PKS menilai masuknya PKB dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ke koalisi pendukung bacapres Anies Baswedan tidak smooth atau mulus. Masuknya PKB dan Cak Imin yang dinilai tak smooth ini disampaikan oleh Ketua DPP PKS Al Muzzammil Yusuf.
Pengumuman sepihak NasDem dan PKB terhadap pasangan Anies – Imin (Amin) ini juga menandakan bahwa posisi PKS tidak lagi memiliki nilai strategis. Berbeda, ketika PKS masih berada di koalisi perubahan bersama NasDem dan Demokrat.
Dalam koalisi perubahan, kedudukan PKS, Nasdem dan Demokrat sejajar. Masing-masing memiliki nilai strategis dalam pencapresan Anies. Salah satu partai mundur, maka Anies gagal maju Pilpres. Karena kalau salah satu mundur, partai yang tersisa tidak cukup suara untuk membeli tiket pencapresan bagi Anies.
Adapun koalisi NasDem PKB, telah cukup kursi untuk membeli tiket bagi pencapresan Anies didampingi Cak Imin. Dengan atau tanpa PKS, Anies bisa melaju menuju Pilpres 2024.
Mungkin karena itulah, Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali menyatakan menghormati mekanisme di internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam memutuskan sikap untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dan siap ditinggal PKS.
“Kalau pada akhirnya (PKS Cabut dukungan dari Anies), ya saya tidak mau berandai-andai. Karena di setiap keputusan politik pasti selalu ada konsekuensi-konsekuensi yang kita terima, karena partai politik itu, ya kami sadar betul bahwa apa yg kami lakukan hari ini,” ujar Ali di Nasdem Tower, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
NasDem sadar betul, andaikan PKS batal mengusung Anies karena faktor Cak Imin, tidak mempengaruhi pencapresan Anies. PKS tidak memiliki nilai strategis, PKS hanya memiliki nilai angka ikut. Bergabung lebih baik, tak gabung pun tak menjadi soal.
Sementara bagi PKS, posisinya menjadi problematik. Pilihan-pilihan politik bagi PKS sangat dilematis.
Ikut mendukung Anies adalah pilihan yang praktis dan pragmatis. Tidak perlu pusing menjajaki koalisi baru, tinggal bergabung dengan NasDem dan PKB. Tentu, dengan konsekuensi posisi tawar PKS menjadi turun, berbeda dengan saat di Koalisi Perubahan bersama NasDem dan Demokrat.
PKS juga harus menerima konsekuensi dampak negatif dari dukungan ini, jika ternyata nantinya Cak Imin ditetapkan menjadi tersangka korupsi dan batal maju Pilpres. PKS harus siap dengan stigma Partai pendukung koruptor.
Selain itu, PKS juga akan disibukkan dalam pembelaan terhadap Anies, karena Cak Imin tidak lolos kriteria nol yang ditetapkan Anies. PKS harus menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya: kenapa Anies harus memilih Cak Imin? Bukanlah Cak Imin sudah ada kasus Kardus durian? cak Imin ini pilihan Anies atau Surya Paloh? Kenapa Anies meninggalkan AHY? dan seterusnya.
Apalagi, kalau nantinya Anies Amien gagal mendaftar ke KPU baik karena cak imin tersangka atau sebab lainnya. Bisa seperti pepatah lama, tidak makan nangka, PKS kena getahnya.
Jika PKS bergabung dengan koalisi yang lain, misalnya dengan Prabowo, juga punya problem sama. Yakni, posisi tawar PKS kecil. PKB saja hengkang dari koalisi Prabowo, setelah merasa tak dianggap pasca bergabungnya PAN dan Golkar.
Bergabung ke PDIP, akan berurusan dengan konsituen dan kader. Karena PDIP, telah dianggap common enemy bagi pemilih Islam yang menjadi basis utama pemilik PKS.
Kemungkinan, materi muatan dalam artikel inilah yang nantinya akan digodok di internal PKS sebelum memutuskan apakah akan gabung atau tidak di koalisi NasDem dan PKB yang mengusung Anies – Cak Imin. Pilihan politik ini tentu saja tidak mudah bagi PKS, apalagi basis pemilih PKS itu agak berseberangan dengan basis pemilih PKB. [].