Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Suhu politik di Indonesia mulai memanas. Perseteruan antara Megawati dan Jokowi makin terbuka. Belakangan ini PDIP rajin mengkritik Jokowi. Mulai dari sindiran capres tidak jantan karena bisanya nempel terus kaya perangko ke Jokowi; capres yang berlumuran darah; pernah menculik aktivis 98, Gibran yang akan dicawapreskan mendampingi Prabowo yang belum cukup umur, mempermasalahkan program Food Estate Prabowo yang gagal, lalu Gibran yang tidak diundang PDIP dalam rapat konsolidasi kepala daerah, terakhir ketika Jokowi menyebut nama Megawati dalam pidatonya di HUT Kemerdekaan di istana, tapi Megawati malah mlengos. Ini jelas tanda kemarahan besar Megawati kepada Jokowi.
Bagaimanapun, posisi Megawati sebagai Ketum partai besar dan memiliki basis massa di lapisan bawah lebih kuat dibandingkan posisi Jokowi yang tidak memiliki partai, tidak memiliki basis massa di akar rumput dan hanya mengandalkan kekuasaannya.
Jika Jokowi sudah lengser apalagi kalau berganti pemerintahan yang pro perubahan, ke mana Jokowi mau berlabuh ? Jokowi jelas posisinya sangat lemah dan bahkan terancam menjadi pesakitan. Itulah sebabnya dukungan Jokowi kepada Prabowo tidak akan sepenuhnya.
Demikian juga dukungan Partai Golkar dan PAN juga sebenarnya semu, hanya sekedar untuk menyenangkan Jokowi atau karena menghindari jerat hukum. Seandainya Pilpres 2024 Anies sudah terdaftar resmi sebagai capres di KPU, dan diprediksi Prabowo dan Ganjar akan kalah, dipastikan Golkar dan PAN tidak akan mendukung Prabowo atau Ganjar tapi akan berubah haluan mendukung Anies.
Partai-partai koalisi pemerintah yang bergabung dengan Prabowo tidak akan memberikan dampak perolehan suara secara signifikan, bahkan sangat mungkin malah akan menggerus dukungannya dari Prabowo (Gerindra)
Mengapa dukungan ke Prabowo masih semu ?
Ini analisanya :
Pertama, Para Ketum partai koalisi Pemerintah dukung Prabowo karena “terpaksa”, untuk menghindari jerat hukum*
Rezim Jokowi sangat kejam, jika ada partai koalisi pemerintah yang “mbalelo”, dipastikan langsung berurusan dengan penegak hukum. Karema penegakkan hukum di era Jokowi hanya dijadikan alat penguasa untuk menekan “lawan”. Sebagai contoh, ketika Airlangga baru saja bertemu Anies, langsung harus berurusan dengan Kejaksaan Agung, tapi setelah merubah dukungan ke Prabowo menjadi aman lagi. Itu pula yang terjadi kepada Menteri-menteri Nasdem.
Kedua, Saat ini Jokowo sedang mendukung Prabowo, esok lusa belum tentu
Jika saja saja Gibran tidak jadi sebagai cawapres Prabowo, belum tentu Jokowi dukung Prabowo. Apalagi jika “siasat” Prabowo yang tidak suka dengan oligarki taipan (seperti yang disampaikan pada kampanye tahun 2019 sambil gebrak-gebrak podium) diendus oleh para oligarki taipan, dukungan Jokowi ke Prabowo bisa dicabut. Dengan demikian otomatis dukungan Golkar dan PAN akan dicabut.
Ketiga, Grass root dam kader-kader Golkar dan PAN 90% telah menyatakan dukungannya kepada Anies.
Jadi sekalipun saat ini partai-partai yang dukung Prabowo sangat gemuk (ada yang menyebut obesitas), tapi sebenarnya gerbong yang dibawa hampir kosong. Jadi suara pemilih Golkar dan PAN sebenarnya sudah beralih ke Anies.
Lembaga survey “pelacur” bisa saja menggelembungkan suara Prabowo di urutan pertama sedangkan Anies di urutan ketiga, tapi fakta di lapangan yang terjadi justru sebaliknya. Jika mau melihat hasil survey yang lebih realistis, lihat saja hasil rilis dari Google trend, ILC, atau CNBC.
Bagaimana dengan Jokowi, ke mana Jokowi akan berlabuh ?
Siapapun yang jadi Presiden, nasib Jokowi sepertinya tidak akan selamat mengingat dosa-dosa politik dan kriminal terlalu banyak, mulai dari : pemalsuan ijazah, latar belakang keluarga yang direkayasa, kecurangan pemilu (terutama) di tahun 2024, kasus pembunuhan dan pelanggaran HAM berat, pelanggaran konstitusi, bisnis ilegal keluarganya, korupsi, kriminalisasi ulama, sampai kepada urusan cawe-cawe yang melanggar Undang-undang dan politik dinasti keluarga.
Semua capres memiliki banyak masalah, kecuali Anies Baswedan. Jadi, wis wayahe Anies yang akan memimpin Indonesia dari 2924-2029. Yang lain minggrir dulu
Bandung, 30 Muharram 1445