Negara tidak perlu mengatur larangan beda agama melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Setiap orang dengan keyakinan agama bisa menikah beda agama.
“Nikah beda agama itu ya itu sebenarnya harus diperhatikan. Karena kalau di dalam agama Islam, bisa saja (aturan) itu dilakukan. Tapi kalau menjadi kebijakan negara itu, padahal agama Kristen dan agama Katolik membolehkan lho nikah beda agama,” ujar Putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alissa Wahid saat ditemui di Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Alissa juga mempertanyakan SEMA itu padahal di agama selain Islam membolehkan nikah beda agama. “Terus bagaimana dong? Terus dilarang? Wong mereka (beberapa agama) membolehkan (nikah beda agama) begitu,” sambung dia.
Alissa mengatakan, lebih baik persoalan nikah beda agama diselesaikan di agama masing-masing saja. Jika masyarakat muslim meyakini pernikahan beda agama tidak diperbolehkan, maka silakan saja meyakini keyakinan tersebut.
Namun, kata dia, negara tidak boleh memaksakan agama lain yang memandang pernikahan beda agama diperbolehkan harus mengikuti aturan pelarangan tersebut.
“Agama-agama yang meyakini itu boleh, ya jangan dipaksa dengan aturan yang dikenakan pada semua. Kalau ada aturan seperti itu, itu kan aturannya berlaku untuk semua. Itu yang tidak fair. Harus disesuaikan dengan UUD, sesuai dengan agama dan keyakinan,” imbuh Alissa.
Diberitakan sebelumnya, MA mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dalam SEMA ini, Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
“Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan,” demikian bunyi SEMA ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin, Senin (17/7/2023).
Dalam SEMA ini disebutkan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Hal ini sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis poin dua SEMA tersebut.