Oleh: Nana Sudiana (Calhaj Kota Semarang, SOC 10)
Bisa beribadah haji ke tanah suci adalah impian jutaan umat Islam. Walaupun harus membayar dengan uang yang tidak sedikit, ditambah perlu menunggu sekian lama, bukan halangan bagi banyak orang untuk bersabar mewujudkannya.
Apapun latar belakang dan profesinya, ketika akhirnya namanya muncul sebagai calon jamaah haji yang akan diberangkatkan, semua pastilah merasa gembira. Ada rasa haru, senang, juga khawatir. Bagaimana nanti di tanah suci saat beribadah haji.
Harus diakui, bahwa jamaah haji Indonesia, mayoritasnya belum pernah umroh. Tidak terbiasa berbahasa arab, dan sebagian besar bukan berlatar belakang santri. Dari aneka ragam latar belakang pemahaman agama, profesi, suku, dan budaya lokal yang ada di Indonesia. Mereka akhirnya menyatu, bersama dalam balutan kepentingan yang sama sebagai calon jamaah haji yang ingin sukses dan mabrur haji-nya.
Bagi jamaah yang jarang bepergian jauh, apalagi bepergian ke luar negeri perjalanan haji tidaklah gampang untuk dilalui. Situasi ini akan bertambah tak mudah bagi jamaah yang berasal dari desa-desa nun jauh di pelosok Indonesia. Jelas akan mengalami “gegar budaya” dengan proses perjalanan yang dialami. Dari mulai naik bus, pengecekan dokuman dan kelengkapan, naik pesawat, makan dan minum selama penerbangan dan kemudian berada di hotel dengan segala fasilitas dan sarana-nya yang bisa jadi baru mereka temui.
Di antara jamaah haji, bisa pula sebelumnya bahkan belum pernah ke pusat kota kabupaten masing-masing. Hal ini menjadi kesulitan ketika akhirnya bertemu dan bersentuhan dengan barang-barang seperti eskalatator, lift, kunci elektrik hotel dan sejumlah fasilitas hotel lainnya yang ada di kamar hotel jamaah haji.
Wajar kemudian, bila kita menyaksikan sejumlah jamaah haji terlihat kaku dan takut ketika hendak menaiki eskalator. Beberapa bahkan kakinya gemetar ketika menginjak anak tangga eskalator. Tak sedikit di percobaan pertama sempat terjatuh ketika hendak keluar dari eskalator. Di lift pun sama, banyak yang tidak tahu cara mengoperasikan tombol lift dan memastikan keluar secara benar di lantai kamar tempatnya berada. Sehingga seringkali jamaah bergerombol di depan lift, menunggu kehadiran seseorang yang dianggap tahu dan mengerti untuk menggunakan lift hotel.
Kompleksitas Jamaah Haji Indonesia
Dengan jumlah jamaah haji yang paling banyak, secara otomatis menempatkan Indonesia sebagai negara yang mengirim petugas haji paling banyak di setiap musim haji. Kita tahu, secara total, Indonesia mendapat 221.000 kuota jamaah haji pada tahun 2023 ini. Rinciannya, sebanyak 203.320 kuota jamaah haji reguler dan 17.680 kuota jamaah haji khusus. Belum lagi kemudian mendapat 8 ribu tambahan kuota jamaah haji. Adapun jumlah petugas haji yang mendamping tercatat ada 2.656 petugas.
Secara teknis, jamaah haji Indonesia diberangkatkan melalui 13 Bandara Embarkasi. Beberapa bandara tersebut diantaranya adalah Bandara Kualanamu, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Juanda, Bandara Adi Sumarmo, Bandara Sultan Hasanuddin, dan Bandara Kertajati.
Di luar 13 bandara embarkasi, ada juga 6 Bandara Embarkasi Haji Antara, yaitu Bandara Sultan Thaha Saifuddin di Jambi, Bandara Sultan Syarif Kasim II (Pekanbaru), Bandara Fatmawati Soekarno (Bengkulu), Bandara Depati Amir (Bangka Belitung), Bandara Radin Inten II (Lampung), dan Bandara Djalaluddin (Gorontalo).
Jamaah terbagi dalam dua gelombang keberangkatan-nya, penerbangan Gelombang Pertama ke Madinah berangkat pada tanggal 24 Mei-7 Juni dan Gelombang Kedua ke Jeddah berangkat tanggal 8 – 21 Juni 2023. Total keberangkatan jamaah terbagi ke dalam 537 kloter jamaah haji yang secara bertahap diberangkatkan oleh 2 maskapai yaitu Garuda Indonesia yang akan melayani 287 kloter dan Saudi Arabian Airlines melayani 250 kloter.
Dalam teknisnya, setiap kelompok terbang (kloter) berisi 325-450 jamaah dalam satu pesawat. Dan dalam kloter, jamaah dibagi lagi dalam rombongan-rombongan. Satu rombongan, terdiri dari sekitar 40 jamaah. Setiap rombongan juga akan dibagi lagi dalam bentuk regu. Regu ini kumpulan terkecil jama’ah, berisi 11-12 orang jamaah. Dalam satu regu, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di miz juga rentang usianya, ada yang tua, dan ada pula yang lebih muda. Lansia juga biasanya ditempatkan secara proporsional di setiap regu.
Struktur rombongan dan regu, sangat bermanfaat untuk memudahkan koordinasi dan kendali atas dinamika lapangan yang terjadi di antara jamaah selama proses haji. Dengan fungsi koordinasi yang baik, akan memudahkan jamaah tetap aman dan nyaman selama beribadah. Juga memastikan jamaah lansia yang ada di setiap rombongan serta regu juga terawasi dengan baik.
Pengalaman regu kami, selama ini, dengan komposisi regu yang ada, pengawasan anggota regu relatif terjaga. Sejak dari proses awal di embarkasi awal, dalam penerbangan, juga saat di Madinah dan lanjut saat ini di Makkah. Kondisi yang baik ini, semoga terus terjaga dan istiqomah hingga pada prosesi puncak ibadah haji sampai nantinya pulang kembali menuju tanah air.
Bila di tingkat regu bisa berjalan dengan baik, semoga di tingkat rombongan, kloter sampai secara nasional pun hal ini mampu berjalan dengan baik. Dengan jumlah yang terbatas fungsi saling mengingatkan, saling menyemangati serta saling tolong menolong pun semakin efektif berjalan.
Di lapangan, setiap anggota regu ini bermanfaat untuk saling menjaga dan mengingatkan. Faktanya, walau ada proses manasik di KBIH kami, tetap saja pengetahuan dan pemahaman jamaah haji tentang ibadah haji tidaklah sama. Semua jamaah haji tahu bahwa dalam berhaji ada yang disebut tiga larangan haji, yaitu rafats, fusuq, dan jidal. Ketiganya tidak boleh dilakukan selama melaksanakan ibadah haji.
Secara ringkas rafats, berarti perbuatan dosa yang disebabkan oleh gejolak nafsu birahi atau seks. Fusuq, yaitu perbuatan dosa yang disebabkan oleh sifat-sifat tercela, seperti sombong, iri hati, dan adu domba. Adapun jidal, adalah perbuatan dosa yang disebabkan oleh tidak adanya kesabaran hingga timbul pertengkaran dan berbantah bantahan.
Nah, fungsi regu ini juga bermanfaat agar setiap jamaah bisa saling mengingatkan jangan sampai melakukan ketiga larangan haji tersebut. Dengan bersama-sama saling menjaga, setiap orang punya batasan yang semakin kuat untuk tidak terjerumus kepada larangan tersebut. Dengan begitu, fokus untuk mendapatkan haji yang mabrur akan semakin berpeluang bisa diraih.
Bersama, lalu sabar dalam keragaman dan dinamika kelompok dalam sebuah regu juga secara tidak langsung menjadi bagian akhlak Islam, khususnya yang berkaitan dengan soal tasamuh. Sikap ini bemakna sola sikap toleran. Toleransi sendiri bukan hal mudah, karena dengan kesadaran untuk menjaga persatuan dan kebaikan bersama. Dalam sikap tasamuh ini juga diperlukan kedewasaan berpikir dan bersikap atas adanya keragaman, perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Saat yang sama, diperlukan juga kemampuan untuk bisa saling pengertian demi lancarnya tujuan bersama, yakni menuju haji mabrur.
Dalam kesatuan regu dan juga rombongan, diperlukan jiwa korsa yang kuat untuk saling mendukung terlaksananya kemaslahatan bersama sepanjang ibadah haji. Dalam situasi tersebut, diperlukan juga sikap ta’awun (saling tolong-menolong dalam kebajikan), thaliqul wajhi (menampakkan wajah yang cerah-ceria penuh kedamaian), tawas’au bil-haq tawas’au bi as-shabri (saling mengingatkan dan nasihat terhadap sesama).
Apakah cukup? Ternyata belum. Masih ada dua lagi sifat baik yang diperlukan agar kekuatan regu dan rombongan makin baik yaitu : qana’ah (bersifat lapang dada) dan ridha (Sikap merasa senang, rela dan puas menerima dan tidak membenci segala macam bentuk ketetapan Allah SWT). Keduanya diperlukan untuk semakin memperkokoh kekuatan tim dan rasa ukhuwah dalam kesatuan regu atau rombongan.
Wallahu’alam bishowwab.
Misfalah, Makkah, Jum’at, 16 Juni 2023