Saya terpaku bersama Hendrik Dikson Sirait aka “Iblis” di tepi Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, saat petang beranjak malam pada 27 Juli 1996. Sepanjang Jalan Diponegoro batu-batu berserakan, aspal bau tumpahan kerosin campur bensin, dan sejumlah gedung pertokoan dan perkantoran masih mengepulkan asap hitam dengan temboknya yang berjelaga dan kaca-kaca etalase pecah berantakan.
Satu-dua api masih menyala di sudut-sudut jendela gedung-gedung bertingkat. Suara sirene meraung, kendaraan pribadi yang melintas hanya tampak satu-dua. Lima atau enam panser merayap pelan melewati Jalan Salemba diikuti barisan polisi dan tentara yang melakukan pengamanan di sekitar wilayah itu.
Saya bertemu Hendrik secara tak sengaja di tepi jalan itu saat mencari sejumlah kawan yang terpisah setelah tengah hari tadi kerusuhan massal meledak sebagai buntut penyerangan kantor PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro. Hendrik mandi keringat. Saya melihatnya sedang mencerna apa yang sedang terjadi. Dia memakai kemeja lengan panjang yang lengannya digulung sebatas siku melapisi kaos t shirt di badannya.
“Setelah ini kita harus bersiap dituduh macam-macam,” kata Hendrik. Saya mengiyakan, lalu kembali berjalan bersama sebentar menyusuri pinggir Jalan Salemba untuk melihat barangkali ada rekan mahasiswa yang tertinggal atau menjadi korban.
Saya mengenal Hendrik di dalam setiap aksi-aksi mahasiswa di Jakarta. Dia bergabung dengan Pijar, dan saya aktif di SMID. Kami berbeda organisasi namun berada dalam satu arus pergerakan mahasiswa yang anti kediktatoran orde baru. Hendrik adalah satu dari tokoh sentral di Pijar dan di antara anak-anak Universitas Nasional, Jakarta, dia dikenal cukup rajin menganyam jaringan. Dia berkali-kali ditangkap dan ditahan aparat keamanan, namun tak pernah jera untuk kembali melawan.
Di bawah jembatan Salemba saya berpisah dengan Hendrik. Kami bersepakat mengabarkan ke semua jaringan gerakan mahasiswa agar membersihkan sekretariat dari semua dokumen kampanye anti kediktatoran. Dokumen itu tentu saja bisa memberatkan jika ada yang tertangkap. “Hati-hati, Bung. Sampai jumpa,” ujar Hendrik.
Setelah itu saya tak bertemu Hendrik lagi. Kabarnya dia pernah tertangkap dan mengalami penyiksaan berat di Bakorstanasda, Jakarta. Dua tahun kemudian ketika gerakan reformasi meletus, Hendrik muncul kembali ke jalanan bersama air bah gerakan mahasiswa yang mendobrak kediktatoran orde baru. Jakarta kembali bergolak dan gelombangnya melanda ke seluruh negeri. Rezim lama tumbang oleh api kemarahan, dan dari abunya muncul politik baru yang lebih bebas di bawah bendera reformasi.
Dari jembatan Salemba saya melihat Hendrik pergi dan menghilang di lorong-lorong kampung seputaran Kramat Raya. Hari ini, Hendrik pergi dan saya hanya sempat menangkap sekelebat bayangan kenangan akan dirinya.
Istirahat dalam damai, Bung.
facebook @ Nezar Patria