Sabar Anies

Oleh: Ady Amar, Kolumnis

Itulah sabar dalam spiritualitas. Menduduki maqam tertinggi ma’rifatullah, yang tak mudah dijangkau oleh orang kebanyakan. Menarik jika dibincangkan ditarik dalam kondisi kekinian, pada suasana negeri yang memang sedang tidak baik-baik saja.

Sepertinya semua mengenal ungkapan masyhur ini, Sabar Ayub. Dinisbatkan pada Ayub, salah seorang nabi utusan Tuhan. Kisah Nabi Ayub populer dengan kesabarannya. Ujian yang didera terus-menerus itu disikapi dengan kesabaran tanpa mengeluh. Bibir dan hatinya terus tak henti melantunkan puja-puji kesyukuran pada Tuhannya.

Sebutan Sabar Ayub lalu digunakan sebagai julukan untuk seseorang yang memiliki sikap sabar, julukan penuh kekaguman. Berkonotasi dengan tingkat kesabaran di atas rata-rata. Narasi lain yang mungkin pas menggambarkannya, “seseorang yang tak lagi punya batas kesabaran”.

Sabar bagi Nabi Ayub, dan siapa saja boleh disebutkan di sini, adalah mereka yang tak punya batas kesabaran. Tidak muncul dalam benak dan lakunya narasi “sabar itu ada batasnya”. Buatnya sabar itu tak terbatas, dan itu bersandar pada konsep syukur. Tidak saja dalam menerima ujian, anugerah pun dilihatnya sebagai ujian, lalu direspons penuh kesyukuran.

Sabar dalam segala hal seolah sudah tertanam dalam diri, yang itu bisa jadi tak disadarinya. Tampak teruji dalam menyikapi kondisi apa pun, baik suka maupun duka, tetap dihadapi dengan sabar. Meski akumulasi persoalan yang dihadapi, intensitasnya terus dibuat makin meninggi, dan ia menyikapi dengan penyikapan biasa-biasa saja.

Itulah sabar dalam spiritualitas. Menduduki maqam tertinggi ma’rifatullah, yang tak mudah dijangkau oleh orang kebanyakan. Menarik jika dibincangkan ditarik dalam kondisi kekinian, pada suasana negeri yang memang sedang tidak baik-baik saja.

Melihat suasana yang muncul, atau bisa jadi dimunculkan oleh situasi tertentu, yang itu sekaligus bisa menguji kedewasaan, utamanya tokoh politik yang bergerak ke arah bandul tertentu. Maka, membincangkan tokoh yang digadang sekaligus dihadang sama besarnya dalam menuju Pilpres 2024, itu menjadi menarik. Siapa lagi tokoh itu kalau bukan Anies Baswedan.

Anies Baswedan yang mantan Gubernur DKI Jakarta, itu memang punya kesabaran tingkat tinggi–kawan Anies pastilah melihat itu senyatanya, pun mereka yang berdiri berseberangan politik dengannya, jika masih sedikit menyisipkan kejujuran di hati akan sangat mudah melihatnya. Selama menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun, tiada sehari pun Anies luput dari olok-olok dan cacian. Dilakukan sampai di luar kepantasan, yang itu tidak disikapi Anies dengan respons berbalas pantun umpatan.

Anies memilih membiarkan saja. Anies memilih jalan istiqomah dalam kesabaran. Waktu yang dipunyainya tidak disisakan sedikit pun menggubris ketidaknyamanan yang muncul. Anies memilih terus bekerja memenuhi satu per satu amanat yang diberikan warga Jakarta. Semua mesti ditunaikan, dan itu ujian sebenarnya. Soal itu Anies lulus, tanpa ada sangkutan beban mendera.

Tidak sekali pun Anies murka dengan cacian yang diterima, bahkan sampai tingkat rasis sekalipun–rasisme itu sebenarnya laku primitif yang tertolak oleh kaum beradab–lalu memilih jalan melaporkan pihak-pihak jahat itu pada kepolisian. Tidak sekalipun itu ia lakukan. Anies lebih memilih jalan sunyi kesabaran.

Anies kokoh dalam hantaman para pihak yang tak henti melihatnya dengan serba kekurangan. Anies memilih membiarkan hantaman yang tak berdasar itu sebagai ujian kesabaran–andai saja Arinal Djunaidi Gubernur Lampung, itu memilih jalan Sabar Anies, maka tak perlu sampai kritik warganya disikapi dengan melaporkan balik pada kepolisian. Warga Lampung yang mengkritik jalan berlubang, itu mestinya diapresiasi, bukan sebaliknya.

Jalan Anies menuju Pilpres 2024, itu serasa jalan meliuk melingkar, bahkan menikung. Bisa jadi agar ia tersungkur jatuh terjerembab. Agar ia gagal memenuhi harapan rakyat akan munculnya sosok inspirasi perubahan untuk memimpin negeri ini.

Segala daya dan upaya dikerahkan untuk menjegal langkah Anies. KPK terus mengangkat kasus Formula E, yang menurut pemeriksaan BPK tak berkasus. Ekspose perkara hingga 15 kali oleh KPK untuk menaikkan status dari penyelidikan menjadi penyidikan, tetap tidak menemukan alat bukti yang cukup bisa menaikkan statusnya. Siapa saja yang dianggap Firli Bahuri Ketua KPK menghalangi kerja komisi anti rasuah dalam menersangkakan Anies, dilempar keluar dari KPK. Brigjen Endar Priantoro salah satunya yang terlempar. KPK seolah menjadi alat politik kekuasaan.

Ada lagi permainan KSP Moeldoko, yang tak merasa jemu dalam upaya merampas Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang jelas resmi diakui Kemenkumham. Moeldoko memakai upaya terakhirnya dengan Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung (MA). Jika PK yang diajukan Moeldoko itu dimenangkan MA, maka yang akan dilakukannya adalah menghentikan langkah Anies. Dan itu dengan menarik Demokrat yang sudah digenggamannya dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Maka, dua opsi diupayakan guna menghentikan langkah Anies. Bisa saja Anies ditersangkakan KPK, tapi bisa pula PK Moeldoko diterima MA. (Lihat tulisan penulis sebelumnya, “Syahwat KPK dan Begal Demokrat: Upaya Menggergaji Anies Baswedan”, 06 April 2023).

Anies tak ambil pusing dengan skenario penjegalan kasar dan tampak kasat mata itu. Anies tetap memilih jalan sabar, meski perlakuan tak semestinya ia terima. Anies lebih memilih dengan tak menghiraukan.

Anies tetap bergerak–sesuai saran beberapa kiai khos agar ia melakukan laku tirakat. Mendatangi kiai-kiai, ziarah ke makam para kiai kesohor. Seperti Rabu malam (12 April 2023), sekitar pukul 21.00, Anies sampai di PP Tebu Ireng, Jombang. Itu setelah sejak pagi hari ia mendatangi beberapa pondok pesantren lain. Lalu diantar keluarga besar Tebu Ireng untuk ziarah ke makam Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Yusuf Hasyim, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH Sholahuddin Wahid, dan dzuriyah lainnya. Tidak itu saja, Anies pun diajak keluarga besar Tebu Ireng ke makam Mbah Asy’ari. Beliau adalah ayah dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, lokasi makam di daerah Keras. Jarak dari PP Tebu Ireng hanya sekitar 3 km. Dini hari itu juga Anies meluncur balik ke Jakarta. Agenda lain di sana sudah menanti.

Entah sudah berapa banyak pesantren yang didatangi Anies, baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengasuh pesantren yang didatanginya, menyambut dengan suka cita. Tak ketinggalan doa pun dipanjatkan para kiai agar Anies menjadi Presiden di 2024 nanti.

Tak sedikit pun terlihat pada wajah Anies rona kelelahan. Dan tak secuil pun rasa hilang harapan, meski upaya menjegalnya intens terus dilakukan. Wajah teduh dan adem itu, seperti tak memperdulikan soal-soal yang tengah dihadapi dengan kerasnya. Sabar seolah jadi kata kunci dalam pengendalian hati. Bagi Anies apa yang di luar kendalinya tidak jadi beban di pikirannya, diserahkan jadi urusan Tuhan. Itu pikirnya dengan seyakinnya, Tuhan yang akan menyelesaikan. Soal metafisis semacam ini, sulit bisa diurai mereka yang biasa berpikir pada hanya yang tampak. Maka mereka menjadi tak tampak, bahwa sebenarnya Anies tengah berbagi peran apik dengan Tuhannya.

Sabar Anies bukanlah Sabar Ayub dalam perspektif kenabian, tentu beda antarkeduanya. Beda zaman beda pula corak dan persoalan yang dimunculkan, tapi sama-sama disikapi dengan kesabaran. Tapi satu hal yang sama dari keduanya, sama-sama ditempa ujian. Karenanya, sekerasnya mengelola hati untuk tetap di jalan sabar. Tentu itu bukan perkara mudah. Perlu terus diikhtiarkan saban waktu, seperti sekolah tanpa kesudahan… Wallahu a’lam.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News